Kamis, 07 Mei 2009

Ulumul Qur'an


AL-QUR’AN DAN PENGERTIANNYA

A. Definisi Al-Qur’anSecara etimologi, al-Qur’an berasal dari kata Qara’a Yaqra’u Qira’atan, atau Qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-Jam’u) dan menghimpun (al-Dhommu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian yang lain secara teratur. Dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan inti dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata al-Qur’an diantaranya ialah :

a. Al-Syafi’i (150-204 H) berpendapat, bahwa kata al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana kitab injil dan taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa As.

b. Al-Fara’ dalam kitabnya “ma’an al-qur’an” berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil dari kata qarain jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal karena sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu sama lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.

c. Al-Asy’ari berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al-Qur'an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.

d. Al-Zajjaj berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an itu berhamzah, mengikuti wazan fu’lan dan diambil dari kata al-Qar’u yang berarti menghimpun. Hal ini karna al-Qur’an meupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.

e. Al-Lihyani berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdarnya diambil dari kata qara’a yang berarti membaca, hanya saja lafadz al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani berbentuk masdar dengan makna isim maf’ul. Jadi, al-Qur’an artinya maqru’ (yang dibaca).

f. Subhi As-Shalih menyamakan kata al-Qur’an dengan al-Qira’ah sebagaimana dalam Surat al-Qiyamah ayat17-18:

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Sedangkan pengertian al-Qur’an dari segi terminolognya, dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama berikut:

a. Dr. Muhammad Salim Muhsin, dalam bukunya Tarikh Al-Qur’an al-Karim menyatakan, bahwa:

القران هو كلام الله تعالي المنزل علي نبينا محمد صلي الله عليه وسلم المكتوب في
المصاحف المنقول الينا نقلا متواترا المتعبد بتلاوته المتحدي باقصرسورة منه

’’Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.

b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dn petunjuk dalm beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalm mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad Abduh mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalam mulai yang diturunkan oleh Allah kepada manusia yang paling sempurna Muhammad Saw, ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulya yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.
Ketiga definisi al-qur’an tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih melihat keadaaan al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan kepada umat islam secara mutawatir, membaca sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mu’jizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya lewat malaikat Jibril. Penegasan tentang permulaan surat dari al-Qur’an serta akhir suratnya, dan fungsinya disamping sebagai mu’jizat atau hujjah kerasulan, juga sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia dan petunjuk dalam beribadah. Dan definisi ketiga melengkapi isi al-Qur’an yang mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulya dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas.

Dari pemaknaan ini, al-Qur’an memiliki beberapa karakter, sebagai berikut :

1. Kalam Allah, yaitu ucapan-ucapan Allah yang tidak memilki suara dan huruf. Karena itu, kalam Allah berbeda dengan kalam manusia yang memiliki suara dan huruf.
2. Diturunkan Kepada Nabi Muhammad Saw. Dari ini tidak terasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi lain, yaitu Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, dan Injil kepada Nabi Isa. Taurat, Zabur, dan injil kendati termasuk kalam Allah, namun tidak sama dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
3. Dalam bahasa arab, yaitu al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai kalam Allah hanyalah yang dalam bahasa arab, sesuai dengan maksud ayat yang berbunyi :


“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.’’ (QS. Yusuf : 2 )

4. Setiap huruf memiliki nilai ibadah, yaitu membaca al-Qur’an mengandung ibadah walaupun satu huruf. Hal ini dijelaskan oleh hadits Turmudzi yang berbunyi:

“Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, ia memperoleh satu nilai kebaikan, dan setiap satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.

5. Mengandung mukjizat, yaitu al-Qur’an memiliki daya melemahkan lawan bicara sehingga menerima kebenaran al-Qur’an. Hal ini dijelaskan oleh ayat yang berbunyi:

”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra: 88).

6. Karakter terakhir ialah dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Maksudnya al-Qur’an terkodifikasi dalam mushaf yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Dari enam karakter ini al-Qur’an dibedakan dengan Hadits dan Hadits Qudsi. Hadis ialah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan pada Nabi. Sedangkan Hadits Qudsi ialah ungkapan-ungkapan suci yang dikaitkan Nabi dengan Allah SWT., yaitu ungkapan Allah yang dibahasakan Nabi. Hadits Qudsi biasanya disandarkan Nabi kepada Allah dengan ungkapan: “Rasulallah Saw, mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya”, atau “Rasulallah mengatakan, Allah berfirman:…”. Hal ini dapat dilihat pada Hadits Qudsi berikut ini: “Dari Abi Hurairah Ra. Bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, Allah SWT berfirman: “Saya bersama sangkaan hamba-Ku kepada-Ku” (HR. Bukhari-Muslim).

Dengan demikian terdapat perbedaan al-Qur’an dengan Hadits Qudsi dalam lima poin, yaitu:
1. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulallah Saw, dengan lafadznya, dan dengan itu orang Arab ditantang untuk membuat seperti al-Qur’an. Tantangan itu tetap berlaku sesuai dengan kemukjizatan al-Qur’an yang abadi. Sedangkan Hadits Qudsi diturunkan tidak dengan lafadznya dan tidak untuk ditantangkan kepada orang Arab, dan tidak pula mukjizat.
2. Al-Qur’an hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga “Allah berfirman” sedangkan Hadits Qudsi kadang dinisbahkan kepada Allah dengan sebutan: “Telah berfirman Allah Ta’ala” dan terkadang diberitakan bersumber dari Allah, seperti ungkapan: “Rasulallah Saw. Mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya”.
3. Seluruh isi al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sehingga kapasitasnya mutlak benar. Sedangkan Hadits Qudsi kebanyakan diriwayatkan melalui khabar Ahad, sehingga statusnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.
4. Al-Quran lafadz dan maknanya berasal dari Allah hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi yang maknanya saja dari Allah sedangkan lafadznya dari Nabi. Dengan kata lain, dari segi makna Hadits Qudsi sama dengan al-Qur’an, namun dari segi lafadz sama dengan Hadits.
5. Membaca al-Qur’an ibadah sehingga disuruh dibaca dalam shalat, sedangkan membaca Hadits Qudsi tidak mengandung ibadah sehingga tidak disuruh membacanya dalam shalat.
Di kalangan ahli kalam (akidah Islam) terjadi perbedaan mengenai substansi al-Qur’an sebagai kalam Allah, yaitu apakah ia Qadim atau Hadits (baharu.) Perbedaan itu terpolarisasi kepada dua kelompok, yaitu Asy’ariah dan Muktazilah.
Menurut Asy’ariah, sesuai dengan keyakinan akan keberadaan sifat Tuhan di luar Dzat, meyakini bahwa al-Qur’an bersifat Qadim, seperti halnya Dzat Allah. Adanya dua sifat Qadim (Dzat Tuhan) dan sifat (al-Qur’an) tidak mengakibatkan keanekaan (syirik), karena diantara keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berbeda dengan pendapat di atas, sesuai dengan prinsip keesaan Tuhan dalam arti yang ada hanya Dzat-Nya sedangkan sifat di luar dzat tidak ada, menurut Muktazilah, al-Qur’an bersifat baharu, karena diciptakan Tuhan. Penerimaan bahwa al-Qur’an bersifat Qadim menyebabkan adanya dua yang Qadim (Ta’adud zl-Qudama’) yang menyebabkan kemusyrikan. Allah bersifat Esa, menurut Muktazilah, memiliki makna bahwa yang ada hanya Dzat-Nya, sedangkan sifat yang ada di luar Dzat tidak ada. Tuhan mengetahui, menurut Muktazilah, dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah Dzatnya sendiri.
Perbedaan pendapat mengenai apakah al-Qur’an Qadim atau baru telah menodai sejarah Dunia Islam, yang dikenal dengan peristiwa mihnah. Namun bagaimanapun semua aliran dalam Teologi Islam sepakat keesaan Tuhan dengan pemahaman yang varian. Karena itu yang terjadi ialah perbeda pemahaman, bukan pertentangan di antara mengesakan Tuhan (Muwahhid) dan mensyerikatkan Tuhan (Musyrik).
B. Nama-nama,Sifat-sifat al-Qur’an dan Dalilnya.
Nama-nama lain untuk al-Qur’an dikembangkan oleh sedemikian rupa, al-Qur’an itu mempunyai banyak nama, menurut Abul Ma’ali Syaizalah, ada 55 nama bagi al-Qur’an, dan menurut Abu Hasan al-Haralay ada 90 nama al-Qur’an. Tetapi menurut Subhi as-Shalih penyebutan nama-nama al-Qur’an yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan, sehingga bercampur aduk antara nama al-Qur’an dan sifat-sifatnya. Diantara nama-nama al-Qur’an ialah al-Qur’an itu sendiri. Allah menamakan al-Qu’an dengan beberapa nama, diantaranya:
1. Al-Qur’an
“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. “ (QS. Al-Isra’: 9)

2. Al-Kitab

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?.” (QS. Al-Anbiya: 9).

3. Al-Furqan




“Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana.” (QS. Al-Furqan: 10 ).

4. Adz-Dzikr

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

5. At-Tanzil
“ Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam.” (QS. As-Syu’ara: 192).
Al-Quran dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Daraz mengatakan : “Ia dinamakan al-Qur’an karena ia “dibaca’ dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua makna ini sesuai dengan kenyataannya.”
Penamaan al-Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknya ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila diantara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain meluruskannya. Kita tidak dapat menyandarkan hanya kepada hafalan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak menyandarkan hanya kepada tulisan penluis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang shahih dan mutawatir.
Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan ke dalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya maka al-Qur’an tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya al-Qur’an, seperti difirmankan-Nya:

“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Dengan demikian al-Qur’an tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad, seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini diantaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedangkan al-Qur;an diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu al-Qur’an mencakup hakikat yang ada dalam kitab-kitab terdahulu dan menmbahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah.
Dan Allah juga telah melukiskan al-Qur’an dengan beberapa sifat, Beberapa sifat Al Qur’an yang telah Allah SWT berikan kepada Kitab Al Qur’an untuk menunjukkan bahwa kedudukan Al Qur’an itu benar-benar agung. Maka Allah SWT memberikan nama dan sifat kepada Al Qur’an tidak hanya satu. Adapun nama dan sifat al-Qur’an diantaranya, yaitu :
1. Al Mubin ( Ad-Dukhon,2 )


2. Al Kalam,(At-Taubah 6)



3. Al Huda (Luqman,3 )


4. As Syifa’ (Al-Isra’,82 )



5. Al Amru (At-Tholaq,5 )



6. Al Maui’dzoh ( Yunus,57 )



7. Al Karim ( Al-Waqiah,77 )



8. An Nur ( An-Nisa,174 )



9. Al Mubarok (Al-Anbiya,50 )







10. Al ‘Aly ( Az-Zukhruf,4 )



11. Al Hikmah ( Al-Qomar,5 )


12. As Sirotol Mustaqim ( Ali ‘lmron,51 )


13. Ar Rohmah (Luqman,3 )


14. Al Haq ( Ali ‘Imron,62 )



15. Az Zabur ( Al-Anbiya,105 )



16. Al Qoyim ( Al-Kahfi 2 )


17. Al Hakim ( Yunus, 1 )

18. As Sidq ( Az-Zumar,32 )


19. Al Matsani ( Az-Zumar,23 )



20. An Naba’ ( An-Naba,2 )

21. Al ‘Adzim ( An-Naba,2 )



22. Al ‘Ilmu, ( Al-Baqoroh,145 )



23. Al Bashoir ( Al-Jatsiyah,20 )


24. Al Habl ( Ali ‘Imron,103 )



25. Al Mutasyabih (Az-Zumar,23 )


26. Al Majid ( Al-Buruj,21 )



27. Al ‘Adl ( Al-An’am,115 )



28. Ahsanul Hadits ( Az-Zumar,23 )




29. Al Bayan ( Ali ‘Imron.138 )



30. Arobiy ( Yusuf,2 )


31. Al ‘Ajab ( Al-Jin,1 )



32. At Tibyan ( An-Nahl,89 )



33. At Tadzkiroh ( Al-Haaqoh,48 )


34. Al Munadi (Ali ‘Imron,193 )



35. Al Wahyu ( Al-Anbiya,,45 )






36. Al Balagh ( Ibrahim,52 )



37. Al Hadi ( Al-Isra’ 9 )


38. ‘Urwatul Wutsqo ( Al-Baqarah,256 )



39. Al Basyir ( Al-Baqarah,119 )




40. Al Busyro ( An-Naml,2 )



41. Al ‘Aziz ( Fus-Shilat/ Haa min Sajdah, 41 )



42. Al Qoul (At Thoriq, 13)




43. Al Qoshosh ( Yusuf,3 )



44. An Nadzir ( Al-Baqarah,119 )



45. Ar Ruuh ( As-Syura,52)



46. As Suhuf ( ‘Abasa,13 )



47. Al Mukarromah ( ‘Abasa,13 )



48. Al. Fasl ( At-Thoriq,13 )



49. Al Marfu’ah ( ‘Abasa,14 )



50. Al Mutohharoh ( ‘Abasa.14 )



C. Kandungan al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makiyah), dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74.437 kalimat, dan 325.345 huruf. Proporsi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) untuk ayat-ayat Makiyah, dan 11/30 (28 surat) untuk ayat-ayat Madaniyah. Sebenarnya ada banyak pendapat tentang isi kandungan al-Qur’an ditinjau dari jumlah surat, ayat, kalimat, dan huruf yang terdapat dalam al-Qur’an.
Para ahli Madinah berpendapat ayat al-Qur’an berjumlah 6214 ayat, ahli Makah berpendapat berjumlah 6213 ayat, menurut ahli Syam berjumlah 6250 ayat, menurut ahli Bashrah berjumlah 6216 ayat, menurut ahi Kufah berjumlah 6236 ayat, dan ada lagi yang berpendapat ayat al-Qur’an berjumlah 6237 ayat, dari beberapa pendapat itu untuk mempermudah dalam mengingat jumlah ayat al-Qur’an maka kita mengambil pendapat yang ada dalam kitab Musthalah at-Tajwid fi al-Qur’an al-Majid yaitu berjumlah 6666 ayat, dan pendapat tersebut sudah umum terkenal dikalangan ulama.
Sedangkan jumlah huruf dalam isi kandungan al-Qur’an juga banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama, ada yang berpendapat bahwa jumlah kalimat dalam al-Qur’an berjumlah 1.025.000 huruf, ada yang menghitung berjumlah 321.267 huruf, dan ada yang berpendapat berjumlah 325.345 huruf, perbedaan jumlah huruf tersebut dikarenakan adanya huruf-huruf yang bertasydid yang menghitung satu huruf atau dihitung dua huruf. Namun yang lebih umum dan masyhur dari pendapat yang berjumlah 1.025.000.
Sebagaiman jumlah ayat dan surat dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam perbedaan pendapat diantara ulama, dalam perhitungan jumlah kalimat dalam al-Qur’an juga terdapat perbedaan pendapat pada jumlah kalimat-kalimatnya yang ada dalam kandungan al-Qur’an, ada yang berpendapat jumlah kalimat dalam al-Qur’an berjumlah 770.450 kalimat ada lagi yang berpendapat hanya berjumlah 8.643 kalimat. Perbedaan penghitungan jumlah kalimat tersebut karena adanya dhomir-dhomir, kalimat-kalimat yang sama dihitung satu kalimat atau beberapa kalimat.
Dari perbedaan pendapat tentang jumlah surat, ayat, huruf dan kalimat dalam al-Qur’an tersebut menunjukkan keajaiban al-Qur’an.
Dari keseluruhan isi kandungan al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa syurga dan neraka.
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhaan Allah SWT.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok kandungan (pesan-pesan) al-Qur’an ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulallah, hari kebangkitan, dan takdir.
b. Masalah etika (Khuluqiyah), berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah), terbagi dalam 2 (dua) macam:
1) Masalah Ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah SWT.
2) Masalah muamalah, seperti akad pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan sebagainya yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia lain, baik perseorangan maupun kelompok. Masalah muamalah ini terbagi menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu:
a) Masalah individu (ahwal al-Syahshiyah), misalnya: masalah keluarga, hubungan suami istri, sanak kerabat, dan pengaturan rumah tangga, yang didalam al-Qur’an sebanyak kurang lebih 70 ayat.
b) Masalah perdata (madaniyah), yang berkaitan dengan hubungan perseorangan dengn masyarakat, misalnya: jual-beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya yang berhubungan dengan hasil kekayaan, sebanyak kurang lebih 70 ayat.
c) Masalah pidana (jinayah), yang berhubungan dengan perlindungan hak-hak manusia, sebanyak 30 ayat.
d) Masalah perundang-undangan (dusturiyah), hubungan antara hukum dan pokok-pokoknya, seperti hubungan hakim dan dengan terdakwa, hak-hak perseorangan, dan hak-hak masyarakat, sebanyak 10 ayat.
e) Masalah hukum acara (mu’rafat), yaitu yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian, sumpah, dan sebagainya, sebanyak 13 ayat.
f) Masalah ketatanegaraan (duwaliyah), yang berkaitan dengan hubungan Negara Islam dan Negara-negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam Negara Islam, baik dalam keadaan perang maupun damai, sebanyak sekitar 25 ayat.
g) Masalah ekonomi dan keuangan (iqthisadiyah dan maliyah), yaitu yang berkaitan dengan hak si miskin pada harta orang kaya, sumber air, minyak, bank, hubungan antara negara dan rakyatnya, sebanyak kurang lebih 10 ayat.
D. Fungsi al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia, sudah barang tentu mempunyai banyak fungsi, baik bagi Nabi Muhammad sendiri dan bagi kehidupan manusia scara keseluruhan. Diantara fungsi al-qur’an adalah sebagai :
1. Bukti kerasulan Muhammad Saw dan kebenaran ajarannya
2. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh umat manusia oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah SWT dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Petunjuk mengenai ahlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual dan kolektif.
4. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
5. Sebagai kitab yang menyempurnakan bagi kitab-kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
6. Menjelaskan apa yang diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu. Seperti menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Dan sebagainya.
Syeh Muhammad Abduh sebgai bapak pemandu aliran rasionalis, masih mendudukkan fungsi al-Qur’an yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang ghaib. Disinilah letak fungsi dan peranan al-Qur’an.
Lebih dari itu, fungsi al-Qur’an adalah sebagai hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai objektif, universal, dan abadi, karena ia diturunkan dari Dzat yang Maha Tinggi. Kehujjahan al-Qur’an dapat dibenarkan, karena ia merupakan sumber segala macam aturan tentang hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya, yang harus dijadikan pandangan hidup bagi seluruh umat islam dalam memecahkan setiap persoalan umat Islam. Allah Berfirman :

“ Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(QS. Al-A’raf : 158)

“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)
Demikian juga al-Qur’an berfungsi sebagai hakim yang memberikan keputusan terakhir mengenai perselisihan dikalangan para pemimpin, dan lain-lain. Sekaligus sebagai korektor yang mengoreksi ide, kepercayaan, undang-undang yang salah dikalangan umat beragama. Oleh karena itu, sl-Qur’an merupakan penguat bagi kebenaran kitab-kitab sucu terdahulu yang dianggap positif, dan memodifikasi ajaran-ajaran yang using dengan ajaran-ajaran yang baru yang dianggap lebih positif. Fungsi itu berlaku karena isi kitab-kitab terdahulu terdapat perubahan dan perombakan dari aslinya, disamping itu juga sebagian isinya dianggap kurang relevan perubahan dan perkembangan zaman dan tempat.
E. Kedudukan al-Qur’an
Kedudukan al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Kitab Naba Wal-Akhbar (Berita dan Khabar)
Sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT:

“ Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?Tentang berita yang besar”(QS. An-Naba’: 1-2).

2. Kitab Al-Hukmi Wa Syari’at (Kitab Hukum dan Syariah)
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maaidah: 49-50).

3. Kitab al-Jihad (Kitab Jihad)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69).

4. Kitab at-Tarbiyah (Kitab Tarbiyah)

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imron: 79)

5. Kitab al-‘Ilmi (Kitab Ilmu)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

6. Minhajul Hayah
Konsep inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat Islam dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulallah SAW, Sayyid Quthbi mengemukakan:
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari dakwah yaitu generasi sahabat yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat Islam secara keseluruhan. Generasi ini tidak muncul kedua kalinya ke dunia ini sebagaimana mereka. Meskipun tidaka disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaimana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan dakwah ini…..”
Cukuplah kesaksian Rasulallah SAW, menjadi bukti kemuliaan mereka, manakala beliau bersabda dalam sebuah Haditsnya:
عن عمران بن حصين رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم.
“ Dari Imran bin Hushoin ra, Rasulallah Saw bersabda : sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat), kemudian generasi yang berikutnya (tabi’in), kemudian generasi yang berikutnya lagi (atba’ tabi’in). HR. Bukhari.
Imam nawawi, secara jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan generasi pada masaku adalah sahabat Rasulallah Saw. Dalam hadits yang lain Rasulallah Saw juga mengemukakan keutamaan sahabat :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تسبوا أصحابي فلو أنفق أحدكم مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
(رواه البخاري)
“ Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulallah Saw bersabda : Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Karena sekiranya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscayatidak akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnyapun tidak”. HR. Bukhari.
Sayid Qutub (1993 : 14-23) mengemukakan, terdapat tiga hal yang melatat belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khoirul qurun yang tiada duanya didunia ini. Secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Karena mereka menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
2. Ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahan dan lain sebagainya. Namun mereka mereka hanya untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam hidup mereka.
3. Mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masalalu ketika jahiliyah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masalalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan tiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir didunia ini. Disebabkan karna ketotalitasan mereka ketika berinteraksi dengan al-Qur’an yang dilandasi sebuah keyakinan yang mengakar dalam lubuk sanubari, bahwa hanya al-Qur’anlah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik didunia maupun akhirat.
Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama islam mempunyai peranan penting didalam kehidupan manusia, untuk kebahagiaan manusia didunia dan diakhirat. Untuk dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, seseorang hendak menggali ilmu yang ada didalam al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat menjadi petunjuk dan hidayah bagi kehidupannya. Pantaslah Nabi Muhammad Saw bersabda :
خيركم من تعلم القران وعلمه
Al-Qur’an sendiri didefinisikan oleh para pakar ilmu keal-Qur’anan dengan banyak definisi. Dari mulai dari etimologi sampai dengan terminologi yang beragam, tetapi merujuk kepada satu kesimpulan yaitu al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril as yang menjadi petunjuk bagi seluruh alam juga sebagai mu’jizat yang agung bagi Nabi Muhammad Saw, yang membacanya adalah merupakan suatu ibadah”.
Al-Qur’an sebagai kitab umat islam yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad Saw telah Allah SWT sempurnakan terhadap kitab-kitab sebelumnya (Zabur, Taurat, Injil), dan Allah menjamin penjagaannya, hingga kitab al-Qur’an terjaga dari perubahan, pengurangan, penambahan, dan hal-hal yang mengotori kesuciannya hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr : 9)
Al-Qur’an sebagai kitab yang mulia, petujuk bagi seluruh alam, Allah telah memberikan nama dan menyifatinya. Adapun nama-nama al-Qur’an adalah al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr, al-Tanzil. Demikian pula sifat-sifat yang diberikan Allah SWT kepada al-Qur’an jumlahnya sangat banyak lebih dari 50 sifat, bahkan diantara ulama ada yang memberikan pendapat bahwa sifat-sifat al-Qur’an lebih dari 90 buah. Ini adalah sebuah penghargaan Allah SWT kepada al-Qur’an, betapa al-Qur’an mempunyai keutamaan yang sangat besar dikehidupan dunia dan akhirat.
Sebagai kitab suci terakhir, kitab suci yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dunia maupun akhirat, al-Qur’an mempunyai kandungan, fungsi, dan kedudukan yang sangat penting.
Dari keseluruhan isi kandungan al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa syurga dan neraka.
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhaan Allah SWT.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.
Selain mempunyai kandungan yang sarat dengan petunjuk, al-Qur’an mempunyai fungsi yang sangat banyak. Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai :
1. Bukti kerasulan Muhammad Saw dan kebenaran ajarannya
2. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh umat manusia oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah SWT dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Petunjuk mengenai ahlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual dan kolektif.
4. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
5. Sebagai kitab yang menyempurnakan bagi kitab-kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
6. Menjelaskan apa yang diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu. Seperti menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman bagi keselarasan hidup. Kita simpulkan dari pemaparan diatas, bahwa al-Qur’an mempunyai kedudukan sebagai :
1. Kitab Naba Wal-Akhbar (Berita dan Khabar)
Sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT:

“ Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?Tentang berita yang besar”(QS. An-Naba’: 1-2).

2. Kitab Al-Hukmi Wa Syari’at (Kitab Hukum dan Syariah)
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maaidah: 49-50).

3. Kitab al-Jihad (Kitab Jihad)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69).

4. Kitab at-Tarbiyah (Kitab Tarbiyah)

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imron: 79)

5. Kitab al-‘Ilmi (Kitab Ilmu)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

6. Minhajul Hayah
Konsep inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat Islam dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia.
Maka dari apa yang telah kami simpulkan diatas, jelaslah bahwa al-Qur’an tidak ada lagi keraguan padanya, kitab yang sempurna, yang menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman :

“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”(QS. Al-Baqarah : 1-2)
Penutup
Demikianlah makalah ini kami tulis, ucapan terimakasih yang tak terhingga kami haturkan kepada Dosen kami, Bapak H. Mursal Syah MA dan Ibu Hamida Mursal MA karena atas bimbingan dan arahannya kami dapat menyelesaikan perbaikan makalah Ulumul Qur’an diakhir semester satu ini. Wallahu Muwaffiq ilâ Aqwamit Thariq.

Daftar Pustaka
Al-Ghazali, al-Musthafa Min ‘Ilmi al-Ushul, (Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971).
Abd. Hakim Atang, Mubarok Jaih, Metotodologi Studi Islam, ( Bandung: PT.Rosyda Karya, 2007), Edisi Revisi, Cet. Ke-Sembilan.
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Abditama, 1994), Cet. Pertama.
Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Edisi Pertama, Cet. 2.
Safi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Asy’ariyah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1990), Cet. III.
Umar Abdullah, Musthalah at-Tajwid Fi al-Qur’an al-Majid, (Semarang: Toha Putra, tanpa tahun), Cet. Pertama.
Syihab M. Quraisy, Wawasan-wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. I
Al-Birri, Zakariya, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975)

Created : Ahmad Khoirudin al-Hafiedz


ISRAILIYAT DALAM TAFSIR
Oleh : Ahmad Khoirudin al_Hafiedz

PENDAHULUAN
Al Quran merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai hudan linnas, maka tidak ada keraguan di dalamnya sekalipun banyak orang yang berusaha mengotak-atik ayat-ayat al Quran yang sudah dijamin keoutentikkannya. Sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang dijadikan sebagai utusannya dengan melalui pelantaraan malaikat jibril, sudah pasti Allah sendirilah yang akan menjaganya dengan ditandai oleh lahirnya para ilmuwan atau para hufadz yang terus menggali isi kandungan al Quran itu sendiri.
Berbeda dengan tafsirnya, dalam hal ini manusia melalui akalnya diciptakan untuk terus berfikir dan terus mencari ilmu Allah melalui penciptaan makhluknya yang beragam tanpa ada pilih kasih antara makhluk yang satu dengan yang lainnya, melainkan satu sama lainnya saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan secara terus menerus dari zaman ke zaman, al Quran mempunyai keistimewaan tersendiri untuk selalu shalih likulli zaman wa makan, didorong oleh banyaknya ulama yang terus tanpa henti menafsirkan al Quran dengan pandangan tersendiri dan tentunya ada keluar dari kaidah al Quran dan as-Sunnah dan ada pula yang tetap pada porosnya.
Dalam hal ini kita sebagai pengkaji dituntut untuk selalu menyeleksi pemikiran-pemikiran tersebut, sehingga kita bisa mengontrol sendiri dan tanpa diikuti oleh keraguan dan sifat taklid sedikitpun.


Penyusun
PEMBAHASAN
ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR AL QURAN
Pengertian Israiliyyat
Ditinjau dari segi bahasa, kata israiliyyat adalah bentuk jamak dan kata israiliyah, yakni bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra bararti hamba dan Il berarti Tuhan, jadi Israil adalah hamba Tuhan. Dalam deskreptif histories, Israil barkaitan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim As, dimana keturunan beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Di dalam al-Qur'an banyak disebutkan tentang Bani Israil yang dinisbahkan kepada Yahudi . Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah:78, al-Isra:4, an-Naml: 76.
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (al-Maidah: 78)
Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat. Menurut adz-Dzahabi israiliyyat mengandung dua pengertian yaitu, pertama: kisah dan dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama .
Definisi lain dari asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan beritaberita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat Islam, selain dari Yahudi merekapun menyerapnya dari yang lain . Sedangkan Sayyid Ahmad Khalil mendefenisikan israiliyyat dengan riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan dengan agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya.
Penisbahan riwayat israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk Islam . Dari tiga definisi tersebut di atas tampaknya ulama-ulama sepakat bahwa yang menjadi israiliyyat adalah Yahudi dan Nashrani dengan penekanan Yahudilah yang menjadi sumber utamanya sebagaimana tercermin dari perkataan israiliyyat itu sendiri. Abu Syu'bah mengatakan pengaruh Nashrani dalam tafsir sangat kecil. Lagi pula pengaruhnya tidak begitu membahayakan akidah umat Islam karena umumnya hanya menyangkut urusan akhlak, nasihat dan pembersihan jiwa.
Formulasi tentang israillyat tersebut terus berkembang di kalangan para pakar tafsir al-Qur'an dan hadits sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia. Bahkan di kalangan mereka ada yang berpendapat bahwa israiliyyat mencakup informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam manuskrip kuno dan hanya sekedar sebuah manipulasi yang dilancarkan oleh musuh Islam yang diselundupkan pada tafsir dan hadits untuk merusak aqidah umat Islam dari dalam.
Meskipun israiliyyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nashrani juga turut ambil bagian dalam konstalasi versi israiliyyat ini. Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih popular dan dominan. Karenanya kata Yahudi lebih dimenangkan lantaran selain Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam, di kalangan mereka juga banyak yang masuk Islam.
Proses Masuk dan Sebab-sebab Munculnya Israiliyyat
Infiltrasi kisah israiliyyat dalam tafsir al-Qur'an tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada zaman jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk ke dalam benak keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nashrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah Islam itu.
Sejak tahun 70 M, terjadi imigrasi besar-besaran orang yahudi ke wilayah Arab, karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi yang bernama Titus. Dalam proses imigrasi tersebut tentunya mereka membawa kebudayaan yang secara turun termurun disalurkan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain itu, bangsa arab terkenal dengan kaum yang nomaden atau berpindah-pindah tempat. Mereka memiliki dua tujuan dalam berpergian. Bila musim panas pergi ke Syam dan musim dingin pergi ke Yaman. Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali ahli kitab yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi.
Di saat yang demikian Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam disebarkan dan Madinah sebagai tempat tujuan Nabi hijrah tinggal beberapa bangsa Yahudi yaitu Qurayqa, Bani Quraidah, Bani Nadzir, Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak. Karena orang Yahudi bertetangga dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan.
Rasulullah menemui orang Yahudi dan ahli kitab lainnya untuk mendakwahkan Islam. Orang Yahudi sendiri sering datang kepada Rasulullah saw untuk menyelesaikan suatu problem yang ada pada mereka, atau sekedar untuk mengajukan suatu pertanyaan.
Pada era Rasulullah saw, informasi dari kaumYahudi dikenal sebagai israiliyyah tidak berkembang dalan penafsiran al-Qur'an, sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an umpamanya saja, apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai pengertian yang berkaitan dengan sebuah ayat al-Qur'an, baik makna atau kandungannya, merekapun langsung bertanya kepada Rasulullah saw . Kendatipun demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam green light pada umat Islam untuk menerima informasi yang menyebarkan informasi dari Bani Israil, hal ini tampak dalam hadits beliau:
بلغوا على ولو اية وحدثوا عن بنى إسراءيل ولاحرج كذب على متعمدا فليتبومقعده من النار.
"Sampaikanlah yang datang dariku walaupun satu ayat, dan ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta ayatku, maka siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka".
Demikian pula dalam hadits lain Beliau bersabda:
ولاتصدقو اهل الكتاب ولاتكذبوهم وقولو امن بالله وما انزل الينا
"Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli Kitab dan jangan pula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, kami beriman kepada dan kepada apapun yang diturunkan kepada kami.
Dalam dua hadis di atas sudah jelas bahwa dalam penggunaan cerita-cerita israiliyyat tersebut Rasulullah tidak melarangnnya secara mutlak, tapi beliau juga memberikan sebuah rambu-rambu kepada kita untuk selalu bersikap selektif dalam pengambilan terhadap israiliyyat tersebut agar tidak gampang terpengaruh oleh cerita-cerita yang dibawakan oleh ahli kitab itu. Dari sini kita dituntut untuk berhati-hati dalam penggunaannya.
Setelah Rasulullah wafat, tidak ada yang bisa lagi dijadikan rujukan dari permasalahan-permasalahan yang timbul dalam islam. Di sini apabila para sahabat tidak menemukan jawabannya dalam al Quran dan al Hadis, maka mereka berijtihad dan salah satu yang dijadikan sebagai rujukan adalah riwayat ahli kitab. Namun disini ad-Zahbi menjelaskan bahwa para sahabat dalam pengambilan cerita-cerita israiliyyat tersebut dibatasi dengan tidak adanya penyimpangan terhadap akidah dan syariah. Semua itu dilakukan dalam taraf kewajaran dan tidak berlebihan.
Di era tabi’in, penukilan terhadap israiliyyat semakin merajalela. Hal ini disebabkan semakin banyaknya orang yang masuk islam dikalangan yahudi dan nasrani, selain itu ditunjang dengan semakin kuat dan banyak orang yang ingin mendengarkan cerita-cerita tersebut apalagi ada hubungannya dengan al Quran. Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani. sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat.
Diantaranya adalah Muqatil bin Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah saw tersebar . Saat itu pula sikap selektif umat islam terhadap israiliyyat tersebut semakin berkurang akibatnya, cerita-cerita tersebut semakin mudah untuk beredar luas.



Macam-macam dan Contoh Israiliyyat dalam Tafsir
Ada tiga macam penggunaan dalam penukilan dari cerita-cerita Israiliyyat, yaitu:
1) Israiliyyat yang diakui dan dibenarkan oleh Islam, maka hal itu benar.

Contohnya dalam periwayatan Bukhari dalam kitabnya, dari Ibnu Mas’ud r.a, mengatakan: “Datang salah seorang Habr kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan: “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati (dalam Kitab kami) bahwasanya Allah Swt. menjadikan langit-langit pada satu jari, bumi-bumi di satu jari, pohon-pohon di satu jari, air dan hasil bumi di satu jari, dan seluruh makhluk di satu jari, kemudian Allah Swt. berfirman: “Akulah Raja”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya karena membenarkan perkataan sang Habr, kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” [Az-Zumar : 67]
2) Israiliyyat yang diingkari dan didustakan oleh Islam, maka hal itu bathil.
Contohnya : Riwayat Bukhari dari Jabir r.a mengatakan: “Kaum Yahudi mengatakan: Jika seseorang menggauli isterinya dari belakang, maka anaknya akan terlahir bermata juling”, maka turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (Al-Baqarah : 223)
3) Israiliyyat yang tidak diakui oleh Islam dan tidak diingkari, maka di sini wajib diam.
Sesuai dengan apa yang diriwayatakan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a mengatakan: “Ahli Kitab membaca Taurat dalam bahasa Ibrani, mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk kaum muslimin, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan janganlah mendustakan mereka, akan tetapi katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu”.
Akan tetapi membicarakan masalah hal ini hukumnya boleh selama tidak dikhawatirkan terjerumus pada keharaman, sebagaimana diatas telah disebutkan sabda Rasulullah Saw. bahwa “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah dari Bani Israil dan tidak mengapa, barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya kelak dari api neraka”, diriwayatkan oleh Bukhari . Kebanyakan yang diriwayatkan dari mereka tidak ada manafaatnya dalam agama, seperti warna anjing Ashabul Kahfi dan lain sebagainya.
Sebab-sebab Muncul Israiliyyat
ada beberapa faktor penyebab masuknya israiliyyat terhadap penafsiran al- Quran. Yakni:
Pertama, perbedaan metodologi antara al-Qur'an. Taurat dan Injil dalam global dan ringksan titik tekannya adalah memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan Taurat dan Injil mengemukakan secara terinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat Islam bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih tabu.
Kedua, ada pula pendapat yang mengatakan rendahnya kebudayaan masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang kurang banyak yang pandai dalam hal tulis menulis (ummi). Meskipun pada umumnya ahli Kitab juga selalu berpindah-pindah., tetapi pengetahuan mereka tentang sejarah masa lampau lebih luas.
Ketiga, ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang difahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya pada ahli Kitab.
Keempat, adalah heterogenitas penduduk. Menjelang masa kenabian Muhammad saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi dan Nasrani.
Kelima, adanya rute perjalanan niaga. masyarakat Arab, rute selatan adalah Yaman yang dihuni oleh kalangan Nasrani, sedangkan rute ke utara adalah Syam yang dihuni oleh kalangan Yahudi.
Contoh Penafsiran al Quran yang Telah Dibubuhi Cerita Israiliyyat
Berikut adalah contoh yang diambil dari Tafsir At-Thabari, dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan penyembelihan Nabi Ismail oeh Nabi Ibrahim, Firman Allah dalam Q.S Ash-Shaffat: 102,
“Maka tatkala anak itu sampai (Pada umur sanggup) berusaha bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesunguhnva aku melihat dalam mimpi aku meyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab, "Wahai Bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar ".
Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama berkaitan dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang di `al-adzabih' pada ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud itu adalah Nabi Ismail as. putra Nabi Ibrahim as. dari Siti Hajar. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ishaq as, putranya dari Siti Sarah. Pendapat terakhir, menurut Ibnu Katsir dan mufassir lainnya berasal dari israliyyat.21 Karena sumber tafsiran ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang bangsa Yahudi yaitu Ishaq as. Bahkan menurut Ibnu Katsir lagi pendapat mereka itu bertentangan dengan sumber-sumber ahli kitab mereka.
Berkaitan dengan pesoalan di atas, dalam tafsirnya mengungkapkan dua elompok riwayat yang masing-masing mewakili dua pendapat di atas. Riwayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan at-dzahabi adalah Nabi Ishaq as. diterimanya dari Abi Kuraib, Zaid bin Habilm, al-Hasan bin Dinar, dari Ali bin Zaid bin Zad'an, dari al-Ahnaf bin Qaid dan al-Abbas bin Abdul Muthalib dan dari Nabi. Sanad israiliyyat yang disandarkan kepada Nabi di atas ditolak.
oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir sebagaimana ditulis oleh Syu'bah, riwayat itu dha'if, gugur dan tidak dapat dijadikan hujjah sebab salah satu rawinya yaitu Hasan bin Dinar, harus ditinggalkan periwayatannya dan gurunya pun, Zaid bin Zad'an, periwayatannya tidak dapat diterima. Namun kelemahan-kelemahan ini tidak dikemukakan oleh ath-Thabari,22 bahkan ia menjadikannya pemihakan terhadap israiliyyat yang mengatakan yang disembelih adalah Nabi Ishaq as, meskipun tidak mengomentari sanadnya, ia mengomentari matnnya.
Dalam hal ini ia memilih riwayat yang mengatakan yang dimaksud dengan al-dzahib adalah Nabi Ishaq as. Ia juga mengatakan al-Qur'an mendukung riwayat itu. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengajukan berbagai argumentasi, umpamanya ia berargumentasi bahwa permintaan Nabi Ibrahim as agar dikaruniai putra ketika berpisah dan kaumnya dan hendak hijrah ke Syam bersama isterinya Sarah, terjadi ketika ia belum mengenal Hajar isterinya yang kedua. Setelah peristiwa hijrah itu Tuhan mengabulkan do'anya. Anak itulah yang menurutnya kemudian dilihatnya disembelih dalam ketiga mimpinya. Dalam al-Qur'an, Nabi Ishaqlah yang disebut-sebut sebagai kabar gembira bagi Nabi Ibrahim as, dalam surah as-Shaffat: 101. Diantara israiliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan dengan al-Qur'an, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan israiliyyat yang pertentangan dengan al-Qur'an.
Sikap Para Ulama Terhadap Israiliyyat dalam Tafsir
Para ulama, terlebih lagi para ahli tafsir berbeda-beda sikapnya, dalam masalah ini terdapat empat macam.
1) Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyyat dengan disertai sanadnya, dia memandang, bahwa dengan menyebutkan sanad, maka dia dapat keluar dari lingkup larangannya, seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2) Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyyat tanpa disertai sanad, maka dia seperti penyulut api di tengah malam, misalnya: Al-Baghawi yang di katakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang tafsirnya : “Tafsirnya adalah ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi, akan tetapi dia menjaganya dari hadits-hadits palsu dan pandangan-pandangan bid’ah”, beliau mengatakan tentang Ats-Tsalabi: “Dia adalah penyulut api di tengah malam, dia menukil apa yang dia dapati dalam kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat shahih,dhaif atau palsu”.
3) Ada yang banyak menyebutkanya, namun sebagian besar yang disebutkan diberi komentar dha’if atau diingkari, seperti Ibnu Katsir.
4) Ada yang berlebih-lebihan dalam menolaknya sehingga tidak menyebutkan riwayat Israiliyyat sedikitpun sebagai penafsiran bagi Al-Qur’an, seperti Muhammad Rasyid Ridha .



KESIMPULAN
Israiliyyat adalah bentuk jamak dari israiliyyah, yakni bentuk kata yang dinisbahkan kepada kata israil yang berasal dari bahasa lbram, isra berarti hamba dan it berarti Tuhan, jadi israil artinya adalah hamba Tuhan. Dalam perspektif histories israil berkaltan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq as, dimana keturunan beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Secara istilah israiliyyat adalah kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal riwayatnya disandarkan atau bersumber pada Yahudi, Nashrani dan lainnya atau cerita-cerita yang secara sengaja diselunduplan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits, yang sama sekali tidak dijumpai dalam sumber-sumber yang sahih. Masuknya israiliyyat dalam tafsir tidak terlepas dari kondisi sosio
cultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Adanya migrasi besarbesaran orang Yahudi pada tahun 70 M ke jazirah Arab karena ancaman dari Romawi yang dipimpin oleh kaisar Titus menimbulkan kontak antara keduanya, ditambah lagi kondisi orang Arab sendiri yang sering melakukan perjalanan dagang ke Syam dan Yaman., di Madinah sendiri banyak orang Yahudi yang bermukim di sana.
Keberadaan israiliyyat dalam tafsir banyak memberikan pengaruh buruk, sikap teliti yang diperlihatkan oleh para sahabat dalam mentransfer. israiliyyat tidak menjadi perhatian genarasi sesudahnya, sehingga banyak israiliyyat yang mengandung khurafat dan bertentangan dengan nash mewarnal kitab tafsif.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Melacak Unsur-unsur Israilliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
al-Bukhari, Matn Bukhari, Beirut, Dar al-Fikri, tth, jilid II dan IV. adz-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassir, Mesir. Dar al-Kutub wa al-Hadits, 1976, jilid I.
_________________, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Jakarta, Rajawali, 1986.
_________________, al-Israiliyyat fi Tafsir wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT Litera Antara Nusantara, 1993.
Khalil, Sayyid Kamal, Dirasah fi al-Qur'an, Mesir, Dar al-Ma'rifah, 1961.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.
ar-Rifai, Muhammad Nazib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta, Gema Insani, 2000.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an I, Bandung, Pustaka Setia, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar