Jumat, 08 Mei 2009

Sosiologi Agama


Pendahuluan

Agama adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kelompok, golongan, atau individu. diIndonesia saja terdapat banyak agama, dari agama yang dilegalkan perkembangannya sampai agama-agama nenek moyang yang dari dahulu sampai sekarang masih dilestarikan. Diluar Negara kita terlebihnya, banyak agama dan organisasi-organisasi keagamaan yang bersosialisasi kepada masyarakat dengan ajaran-ajaran masing-masing. Sering kita bertanya mengapa agama disuatu tempat berbeda ditempat yang lain, atau cara peribadatan disuatu tempat berbeda ditempat yang lain? Mengapa terdapat banyak macam agama didunia ini. Apakah pula yang menyebabkan agama dapat diterima oleh manusia? Apakah karena faktor ketakutan, penghambaan, atau karena aspek yang lain? Bagaimana pula hubungan antara manusia dan agama? Pada makalah ini insyaallah akan dipaparkan sekelumit tentang pelbagai pertanyaan diatas.
Pembahasan

A. Sosiologi dan Agama
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan dalam berhubungan antar kelompok. Sosiologi sebagian mempunyai obyek yang sama dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, tetapi ia memandang peristiwa-peristiwa sosial dengan caranya sendiri, mendalam sampai hakekat segala pembentukan kelompok, hakekat kerjasama serta kehidupan bersama dalam arti kebendaan dan kebudayaan.
Agama, banyak sekali perbedaan dalam mendefinisikan agama, karena kata agama merupakan sebuah kata yang mempunyai banyak makna tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Seorang ilmuan W. H. Clark mengatakan bahwa tidak ada kata-kata yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama. Karena pengalaman agama adalah subyektif, intern, dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang lain. Disamping itu, tampak pada bahwa umumnya orang lebih condong kepada mengaku beragama, sekalipun ia tidak menjalankanya.
Tetapi menurut Harun Nasution, dari sekian banyak definisi agama belian mengambil intisari dari istilah-istilah agama dengan kata ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, yang mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu barasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, suetu kekuatan ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Dalam ruang lingkup ilmu sosiologi, agama merupakan hal yang sangat krusial dibahas karena agama sebagai salahsatu aspek dari tingkahlaku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama barabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarakat.
Sosiologi agama tidak menanyakan tentang hakekat agama, melainkan menyelidiki tempat agama dan penganutannya oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Penyelidikannya meluas lebih jauh lagi,dengan menentukan sampai seberapa jauh pengaruh agama dan organisasi keagamaan pada lapangan kerja umumnya dan pada tinjauan sosial tiap-tiap individu tersendiri.
Pada hal tersebut menggabungkan suatu soal pokok yang lain yaitu pertanyaan sampai seberapa jauh hidup sosial dan perubahan-perubahan struktur sosial menyinggung penganutan agama dan dan dapat mendorong organisasi keagamaan kesuatu arah tertentu.
Dari sinilah tingkah laku keagamaan diantara umat manusia untuk alasan-alasan yang praktis biisa diterima kebenarannya. Tak seorang ahli etnologi pun yang menemukan kelompok manusia tanpa bekas-bekas tingkah laku yang bisa dilukiskan dengan cara yang sama. Keadaan manusia adalah aspek utama dari keragaman ini.


B. Agama dan Manusia
Dari banyak definisi agama sampai-sampai tidak ada definisi agama yang mencapai standar memuaskan. Elizabet K Nottingham pengarang buku religion and society, sampai mengungkapkan statemen diatas, yaitu tidak ada definisi agama yang memuaskan. Karena suatu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi, bukan definisi.
Agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana hingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha menusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan sendiri dan keberadaan alamm semesta. Agama telah menimbulkan khayal yang yang luas dan jugga digunakan untuk kekejaman yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian kita tertuju kepada dunia yang tidak kita lihat (akhirat). Namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah kehidupan manusia sehari-hari. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru kedalam hati sanubari terhadap alam ghaib dan syurga-syurga yang didirikan dialam tersebut. Namun demikian juga agama berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Beribadah bersama-sama memakai lambang keagamaan telah mempersatukan manusia dalam ikatan yang paling erat, akan tetapi perbedaan agama telah membantu timbulnya beberapa pertentangan yamg palinng hebat diantara kelompok-kolompok itu.
Dengan lambang, manusia dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakekat pengalaman keagamaan selamanya tak dapat diungkapkan. Ide tentang tuhan dapat membantu manusia mengerjakan tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik, atau berusaha menguasai kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Pada prisipnnya, manusia berusaha untuk mengetahui rahasia dibalik sesuatu, memahami dan mendamaikan antara dua kutub utama yang berlawanan satu sama lain dalam diri mereka sendiri : baik dengan buruk, cinta dengan benci, iibadah dengan maksiat dan lain sebagainya.
Apakah artinya semua ini terhadap pengkaji masyarakat? Meskipun ia tidak bersikap masa bodoh terhadap masalah yang timbul karena sifat dasar dari agama itu sendiri, namun perhatian utama adalah kapada agama yang diwujudkan dalam tingkah laku manusia.
Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apapun, konsepsi tentang agama merupakan bagian yang tidaka akan terpisahkan dari pandangan hidup mereka dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral sehingga sukar bagi kita sendiri sebagai orang-orang modern untuk melihat agama dari kacamata ilmiah yang jujur.
Pemeluk suatu agama tentu saja dikendalkan oleh kesetiaan, kayakinan, dan kekaguman tehadap agama mereka. Tugas dari pengkaji masyarakat adalah mencari kebenaran. Meskipun demikian, dalam mencari kebenaran tersbut dia harus mengendalikan dan menggunakan semua perasaan dan emosinya dan malah merasa bebas sama sekali. Karenanya, sikap pengkaji dan pemeluk agama harus tetap berada dalam batas kepribadiannya sebagai individu.
Sekarang banyak sarjana sosiologi yang berusaha mendifinisikan agama dengan melihat manusia sebagai pelaku. Dan mereka memberikan tekanan khusus pada bagaimana mereka menggunakan agama pada kehidupan sosialnya dan bahkan pada semua aspek kehidupannya. Meskipun usaha pada masa dulu untuk mendefinisikan agama dipandang dari sumber aslinya ternyata berkhir tanpa hasil, namun pandangan yang lebih baru, meskipun kurang dogmatic, sedikit banyaknya melibatkan asumsi-asumsi yang jelas tentang manusia itu sendiri, sifatnya dan kebutuhan-kebutuhannya.
Penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai buah pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Ini adalah bagian, bukan hakekat dari kebenaran itu. Durkheim kemudian juga Freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Meskipun perasaan dan emosi merupakan aspek tingkah laku keagamaan. Namun agama itu sendiri tidak dapat dianggap sebagai ”sesuatu yang semata-mata” didorong kelahirannya oleh kegembiraan kelompok khalayak ramai (pendapat Durkheim, red) atau seperti dikatakan Freud, sebagai akibat dari dorongan nafsu seksual yang mendapatkan saluran. Diantara binatang-binatang, hanya manusia yang mampu menciptakan bahasa simbolik dan pemkiran abstak. Dia tidak hanya berbuat dan berkreasi, tapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan. Karena itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memikirkan alam, mecapai keserasian dan kecemasannya ada kalanya terikat dengan kesadaran beragamanya yang mendalam.
Penelitian modern banyak mendukung pendapat itu. Tetapi manusia tidak menghadapi masa depannya dengan dengan perasaan khawatir, tetapi juga menggunakan kemampuannya untuk menanggapi kejadian-kejadian secara dini sebagai pendorong timbulnya cita-cita, hasrat dan harapannya yang kreatif. Lagi pula kita lihat manusia tidak hanya mengalami tapi juga meemikirkan pengalaman-pengalamannya dan berusaha karas menciptakan penafsiran-penafsiran yang akan member makna kepada pengalaman-pengalaman tersebut.
Agama yang dianut manusia, tidak seperti perekonomiannya, tidak dapat diambil dari satu anugrah yang dimiliki bersama dengan binatang-binatang lainnya. Tidak juga dianggap bahwa ia berasal dari salah satu aspek dari sifat-sifat khusus manusia. Bagaimanapun pentingnya bagi agama ketergantungan anak pada orangtua mereka dalam jangka waktu yang lama tidak dapat dijelaskan kecuali sebagai proyeksi dari tokoh figure orang tua dalam ukuran besar. Ini adalah teori yang memberikan pengertian yang berat sebelah. Ilmu sosial modern menunjukan fakta bahwa motifasi bagi agama sama rumitnya dengan keadan manusia itu sendiri.
Mungkin belum terpecahkan masalah motivasi agama itu. Tetapi paling tidak kami menunjukkan beberapa aspek dari keseluruhan situasi manusia yang berkaitan langsung dengan agama sebagai salah satu langkah awal untuk menganalisa tingkah laku keagamaan dan hubungannya dengan masyarakat.
C. Sakral dan Ghaib
Sakral berarti suci, keramat, atau kerohanian. Ghaib adalah sesuatu yang bersifat rahasia, tak terlihat, tak tampak, tersembunyi. Sesuatu yang sakral lebih mudah untuk didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan sampai yang sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang kita kenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa, atau yang sering kita katakan yang sakral dengan yang sekuler atau duniawi. Namun hampir semua benda yang ada dilangit dan bumi disakralkan. Orang hindu memuja lembu yang suci, orang muslim mengsakralkan batu hitam yang ada disalah satu sudut ka’bah, orang Kristen memuja salib diatas altar dan sebagainya.
Ciri umum apakah yang dapat kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tak terbatas ini? Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujudnya saja kita tidak akan mendapat jawaban, justru dari sikap manusia dan perasaannya kita dapat tau jawabannya. Adalah sikap dan perasaan manusia yang dapat memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian, kesakralan terwujud karena sikap mental manusia yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum sendiri sebagai emosi saakral yang paling nyata. Adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Intinya, bahwa yang sakral itu tidak difahami dengan akal sehat yang bersifat empirik untuk memenuhi kebutuhan praktis.
Perlu diketahui bahwa benda-benda yang sakral sebenarnya secara lahiriyah tidak jauh berbada dengan benda-benda biasa yang dikenal sehari-hari. Bagi orang-orang yang tidak mengetahui, lembu yang sakral (keramat, red) menurut orang-orang Hindu akan persis seperti lembu-lembu yang lain, sama saja dengan salib seperti kayu yang dipalangkan. Tapi sekali lagi, sikap dari pemeluklah membuat perbedaan penting dalam hal ini.
Kemudian ada apa dengan perihal ghaib? Sebagaimana tertera diatas bahwa sakral termasuk gaib, tapi dia tidak sama dengan ghaib. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesakralan itu adalah sikap para pemeluknya saja. Sedangkan yang gaib adalah benda-benda dan wujud-wujud dari dunia lain yang diyakini berada diluar dunia yang dikenal secara indrawi. Dan yang ghaid dalam pengertian inilah tujuan utama tingkah laku keagamaan dikalangan sekte-sekte besar seperti yahudi dan nasrani. Contohnya, Tuhan dan Syurga adalah sakral dalam dunia ghaib, kemudian lilin dan kitab-kitab merupakan lambang-lambang dari hal yang ghaib menurut Yahudi.
D. Pengalaman “Ibadah atau Ritus”
Namun demikian tidaklah cukup jika benda-benda dan wujud-wujud sakral tersebut sekedar “ada”, tapi eksistensinya harus dipelihara terus menerus dan dihidupkan dalam hati pemujanya. Kepercayaan-kepercayaan yang terdiri dari syahadat-syahadat dan mitos-mitos serta pengalaman-pengalaman yang terdiri dari upacara keagamaan dan peribadatan membantu untuk tujuan ini (keeksistensiannya, red). Kepercayaan keagamaan bukan hanya mengakui keberadaan benda-benda dan makhluk-makhluk ghaib tetapi seringkali memperkuat dan mengokohkan keyakinan terhadapnya. Agama juga mencoba mencoba menjelaskan asal-usul makhluk sakral ini, dan boleh dikatakan agama menyediakan peta dan petunjuk untuk mencapai alam ghaib. Kepercayaan keagamaan dapat dirinci dalam teologi (ilmu yang membicarakan tentang tuhan) dan kosmologi (ilmu yang membicarakan tentang alam semesta).
Dalam pembicaraan tentang agama ini, orang-orang barat terlalu banyak menekankan kepercayaan dalam aspek-aspeknya yang lebih intelektual. Pada perselisihan mengenai teologi dan kredo yang telah memainkan peranan begitu penting dalam sejarah keagaaman kita. Akan tetapi untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadah dan upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus (ibadah, red) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja mencakup semua jenis tingkah laku, seperti memakai jenis pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan formal tertentu, memuja, berpuasa, dan sebagainya.
Dengan demikian sifat sakral dalam ritus, seperti halnya benda-benda sakral, tidak tergantung pada cirri hakekatnya tetapi pada mental dan sikap-sikap emosional kelompok terhadapnya dan kepada konteks sosiokultural ditempat dilaksanakannya ritus tersebut.
Perbuatan yang sama, misalkan makan bisa bersifat biasa dalam satu konteks tertentu, tetapi dalam konteks yang lain justru merupakan hal yang sakral seperti ikut makan pada jamuan perayaan paskah. Dalam kata lain ritus menyatakan atau menunjukkan dengan jelas dalam konteks mana tingkah laku sakral itu terjadi. Ritus juga memberikan peranan tertentu kepada orang-orang yang ikut andil didalamnya. Dengan pengulangan-pengulangan secara teratur dan cermat ritus tersebut menyalurkan emosi dan juga meningkatkan kekuatan pendorong timbulnya emosi tersebut dari symbol-simbol yang dipakai.
Jadi, salah satu fungsi penting ritus adalah memperkuat keyakinan terhadap adanya dunia yang ghaib dan memberikan cara-cara pengungkapan emosi keagamaan secara simbolik.

E. Makna Simbol (Lambang)
Dapat dimaknai perlambangan yaitu gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan menggunakan benda-benda yang lain sebagai perlambangan. Karena inti emosi keagamaan dipandang tidak dapat dieksprisikan, maka upaya untuk itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan karena itu bersifat simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sakral yang ghaib dalam fikiran dan jiwa para pemeluk (agama) yang bersangkutan.
Simbolisme meskipun kurang tepat dibandingkan dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah, tetap mempunyai potensi istimewa. Karena lambang mampu mengbangkitkan perasaan dan keterikatan lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai sebagai lambang tersebut. Lambang-lambang tersebut sepanjang sejarah merupakan pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk difahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang sangat efektif untuk mempererat persatuan antara pemeluk agama didunia. Ini tidak lain karena makna lambang-lambang tersebut menyimpang jauh dari definisi-definisi intelektual sehingga kemampuan lambang-lambang tersebut untuk mempersatukan lebih besar, sedangkan definisi-definisi itelektual menimbulkan perpecahan. Lambang bisa dimiliki bersama karena didasari perasaan yang tidak dirumuskan terlalu ketat.
F. Nilai-nilai Moral
Pengamalan atau pemilikan bersama kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus menunjukan bahwa hubungan antara anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam beberapa hal yang erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok itu. Hubungan ini terlihat jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama tertentu. Contohnya, pemeluk agama yang memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang tertentu. Seperti orang Hindu, yang memantang untuk menyembelih dan memakan lembu. Dan hal itu membantu mempersatukan para pemeluk agama Hindu serta membedakan mereka dari orang-orang muslim dan Yahudi yang makan daging sapi atau lembu dan tidak memakan babi.
Hubungan antara konsepsi (pemikiran) masyarakat tentang sakral dan nilai-nilai moral kelompok bisa dijelaskan dengan cara lain. Jenis hubungan-hubungan yang oleh kelompok tertentu dipercayai adanya diantara makhluk-makhluk sakral dialam ghaib, dan juga diantara makhluk-makhluk tersebut dengan umat manusia, sering dianggap sebagai pola ideal dari hubungan sesama manusia yang seharusnya ada dalam masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai moral yang diberlakukan kepada para penghuni alam ghaib itu memberi pengakuan yang sakral terhadap nilai-nilai moral bagi manusia didunia nyata.
Nilai-nilai moral apapun-dan nilai-nilai moral tersebut mencakup aktifitas-aktifitas yang sangat luas-penekanan yang dilakukan oleh suatu kelompok keagamaan pada nilai-nilai tertentu membuat suatu kelompok berbeda dengan yang lain. Karena nilai ini ditekankan oleh para pendeta, kyai, pendeta yahudi dan sebagainya dan ditanamkan oleh orangtua kepada anak-anak mereka dari generasi ke generasi selanjutnya. Kita akan memahami bahwa ketaatan terhadap nilai-nilai moral tersebut berfungsi menyatukan kelompok pemeluk kedalam suatu masyarakat moral.
G. Agama Supernatural (Ghaib) dan Agama sekuler
Agama-agama tradisional didunia, yaitu Budha, Yahudi, Kristen, Hindu dan Islam dengan penekanan mereka pada yang sakral dan nilai-nilai diluar dunia ini, semuanya adalah agama-agama supernatural. Akan tetapi terdapat gerakan-gerakan yang kuat didunia modern yang tidak menekankan supernaturalisme, namun memiliki sebagian besar cirri agama. Pergerakan ini mempunyai kepercayaan dan upacara-upacara keagamaan, simbolisme, dan kelompok-kelompok pemeluk yang taat yang diikat oleh nilai-nilai moral bersama. Misalkan Nasionalisme, fasisme dan komunisme. Dan kita dapat menggolongkannya kepada agama sekuler.
Mari kita lihat kasus komunisme, teori komunis menganut pandangan matrealistik terhadap masyarakat dan apalagi terhadap alam semesta. Orang-orang komunis sama sekali tidak menghormati dan tidak mengagungkan wujud-wujud supernatural. Sampai sekarang mereka dengan keras melarang pengamalan agama supernatural, dan museum mereka diperuntukkan bagi pengembangan ateisme dan matrealisme ilmiah. Tidak ada tempat bagi agama supernatural disini.
Sementara orang barangkali melihat kenyataan atau fakta yang menarik, bahwa meskipun usaha untuk mempertahankan agama-agama supernatural pada banyak orang sekarang diseluruh dunia mengalami kemerosotan, namun sikap kaagamaan masih bertahan. Sikap ini kelihatannya dengan mudah dapat diarahkan kembali menuju nilai-nilai nonsupernatural, sehingga mengesankan terhadap keuniversalan agama dikalangan umat manusia. Fakta mengenai keuniversalan agama ini pada gilirannya akan menimbulkan persoalan-persoalan penting mengenai fungsi agama didalam masyarakat.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesipulan bahwa :
- Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan dalam berhubungan antar kelompok.
- Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, yang mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu barasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, suetu kekuatan ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
- Sosilogi agama tidak menanyakan tentang hakekat agama, melainkan menyelidiki tempat agama dan penganutannya oleh masyarakat dalam kehidupan sosial.
- Agama sangat mempengaruhi pola hidup manusia didalam kesehariannya, dalam berinteraksi dengan sesamanya.
- Kesakralan terwujud karena sikap mental manusia yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata. Adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Sakral tercipta karena manusia sendiri.
- Nilai-nilai moral apapun-dan nilai-nilai moral tersebut mencakup aktifitas-aktifitas yang sangat luas-penekanan yang dilakukan oleh suatu kelompok keagamaan pada nilai-nilai tertentu membuat suatu kelompok berbeda dengan yang lain.
Penutup
Demikianlah ini kami tulis. Tentunya masih banyak terdapat kekurangan disana-sini. Dengan kekurangan tersebut kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ucapan terimakasih tak lupa kami ucapkan kepada Bapak Dosen Pembimbing, Bapak Abdul Muid Nawawi, MA. Karena berkat bimbingannya terselesaikanlah makalah sederhana ini. Wallahu Muwaffiq Ilaa Aqwamitthoriiq.




Daftar Referensi :
1. Nottingham, Elizabet K, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Cet. 8
2. Bouman, DR. P. J, Sosiologi Pengetian dan Masalah, (Jogjakarta: Yayasan Kanisius, 1976) Cet. 13
3. Drajat, Prof. DR. Zakiah, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) Cet. 8
4. Nasution, Harun Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid I (Jakarta: UI Press, 1971)
5. Partanto, A Pius, Dahlan, M. Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar