Jumat, 08 Mei 2009

Ulumul Hadits

Makalah Ulumul hadits

Hadits
Kata hadits barasal dari bahasa arab الحديث yang jamaknya adalah الأحاديث. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya : الجديد (al-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata القديم (al-qodîm) yang berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw itu adalah hadits (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah yang bersifat qodîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadits berarti sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah, hadits diberi pengertian yang berbeda oleh para ulama. Menurut Ibn al-Subhi (wafat 771 H = 1370 M), hadits adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak memasukkan taqrîr Nabi Muhammad Saw sebagai bagian dari rumusan definisi hadits. Sementara pendapat masyhur ulama mengatakan hadits adalah :
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله وأحواله
"Segala perkataan Nabi Saw, perbuatan dan hal ihwalnya"

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا أو فعلا أوتقريرا أو صفة
“Apa yang disandarkan kepada Nabi Saw baik perkataan, perbuatan, taqrîr, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw”.
Contoh :
عن أمير المؤمنين أبى حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ٳنما الأعمال بالنيات وٳنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته ٳلى الله ورسوله فهجرته ٳلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته ٳلى ما هاجر ٳليه ( رواه البخارى ومسلم )
Adapun menurut ahli ushul, hadits mempunyai pengertian :
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله وتقريراته التي تثبت الأحكام وتقرره
"Semua perkataan Nabi Saw, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan ketetapannya"
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala yang bersumber dari Nabi Saw, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan erat dengan hukum-hukum dan ketetapan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Dalam konsep ahli ushul ini berarti segala sesuatu selain hal yang telah disebutkan tidak masuk dalam pengertian hadits.
Lain halnya dengan ahli fiqh, hadits dipandang sebagai suatu perbuatan yang harus dilakukan, tatapi tingkatannya tidak sampai pada wajib atau fardlu, sebab hadits masuk kedalam pekerjaan yang status hukumnya lebih utama dikerjakan. Artinya suatu amalan apabila dikerjakan mendapatkan pahala, akan tetapi apabila ditinggalkan tidak dituntut apa-apa. Akan tetapi apabila ketentuan itu dilanggar akan mendapat dosa.
Sunnah
Menurut bahasa sunnah berarti at torîqoh, as sîroh, at tobîah yang berarti jalan, kisah, atau tabi’at. Sedangkan menurut istilah ahli hadits :
ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أوتقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء كان قبل البعثة أوبعدها
“Sesuatu yang disandarkan kepada Rasulallah baik perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup baik sebelum beliau diangkat menjadi rasul seperti tahannus dilakukan beliau yang digua hiro atau sesudahnya.”
Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ahli hadits membawa masuk semua bentuk kebiasaan Nabi Saw (yang umum maupun yang syara’) kedalam pengertian sunnah dan memiliki makna sama dengan pengertian hadits.
Contoh:
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كرية من كرب يوم القيامة ( رواه مسلم )
Adapun menurut ahli ushul, sunnah berarti :
كل ماصدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القران الكريم من قول أو فعل أوتقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw selain al-qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya yang memang layak sebagai dalil bagi hukum syara’.
Dari definisi tersebut, sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan kapada Nabi Saw, tetapi hanya sebatas yang berhubungan dengan hukum syara’ saja, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya. Sedang sifat-sifat yang melekat pada diri beliau, yaitu perilaku dan perjalanan hidup beliau yang tidak berhubungan dengan hukum syara’ serta terjadinya sebelum beliau diangkat sebagai Rosul tidak termasuk dalam kategori pengertian sunnah. Begitu juga yang bersumber dari sahabat atau tabi’in tidak dapat dikategorikan sunnah, karna ini hanya terbatas untuk yang bersumber dari Rasulallah Saw.
Lain halnya dengan prespektif ahli fiqh, definisi sunnah menurut mereka adalah :
ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من غير افتراض ولا وجوب وتقابل الواجب وغيره من أحكام الخمسة
“Semua ketetapan yang berasal dari nari Nabi Saw selain dari yang difardlukan, diwajibkan dan termasuk kelompok hukum (taklif) yang lima”
Definisi ini menunjukkan bahwa objek pembahasan para ahli fiqh hanya terbatas pada pribadi dan perilaku beliau sebagai landasan hukum syara’ untuk diterapkan pada perbuatan manusia pada umumnya, baik yang wajib,haram, makruh, mubah maupun sunnah. Karenanya, jika dikatakan perkara ini sunnah maka yang dikehendaki adalah pekerjaan itu memiliki nilai hukum yang dibebankan oleh Allah kepada setiap orang dewasa, berakal sehat dengan tuntutan “tidak wajib” (menurut Syafi’i), atau tidak fardlu (menurut Hanafi).
Khobar
Secara bahasa khobar adalah sinonim dari kata an naba’ yang berarti cerita. Jamaknya adalah akhbâr. Dibanding dengan sunnah, khabar lebih layak menjadi sinonim hadits. Sebab, tahdis (pembicaraan) tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Adapun secara istilah ada tiga pendapat ulama tentang khobar :
Khobar adalah sinonim hadits yang secara istilahnya sama seperti pengertian hadits.
Khobar berbeda dengan hadits. Hadits sesuatu yang datang dari Rasulallah Saw, adapun khobar adalah sesuatu yang datang dari selain Rasulallah Saw.
Khobar bersifat lebih umum dibandingkan dengan hadits karena khobar bersumber dari Rasulallah Saw dan lainnya.
Atsar
Atsar secara bahasa bararti bekas atau sisa dari sesuatu. Adapun secara istilah ada dua pendapat tentang definisi atsar :
Atsar adalah sinonim hadits atau makna secara istilahnya sama.
Atsar berbeda dengan hadits. Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in dari perkataan atau perbuatan.
Contoh :
قال عمر رضي الله عنه : نحكم بالظواهر والله يحكم بالسرائر .
قال علي رضي الله عنه : إن العلم أفضل من المال .
Sanad
Sanad menurut bahasa berarti al mu’tamad (tempat bersandar) . Disebut seperti itu karena hadits disandarkan atau menyandarkan padanya. Atau dapat juga diartikan ما ارتفع" من الأرض “sesuatu yang terangkat (tinggi dari tanah)”. Adapun menurut istilah para ahli hadits sanad adalah jalannya matan yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumber yang pertama. Al-Tantawi mengemukakan definisi yang hampir senada bahwa sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits, yaitu nama-nama perawinya secara berurutan.
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dho’ifnya suatu hadits. Andaikata salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau yang tertuduh dusta maka dho’iflah hadits itu, hingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum.
Contoh :
عن ...... عن ...... عن ..... عن ........ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم .
حدثنا ..... حدثنا ..... حدثنا ..... حدثنا ..... حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم .

Isnad
Isnad secara etimologi berarti menyandarkan sesuatu pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, Isnad mempunyai dua arti :
Mengembalikan hadits kepada yang mengatakannya, sebagai sandaran.
Urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut kepada matan (teks hadits). Dengan makna seperti ini berarti sinonim dari sanad.
Dalam arti yang lain bisa dikatakan, “ usaha seorang ahli hadits dalam menerangkan suatu hadits yang diikutinya dengan penjelasan kepada siapa hadits itu disandarkan, disebut meng-isnad-kan ”.
Musnad
Musnad adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja asnada, yang berarti sesuatu yang disandarkan kepada yang lain. Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian :
الحديث الذى اتصل سنده من راويه إلى منتهاه
“Hadits yang besambung sanadnya dari perawinya (contonya Imam Bukhori sebagai sanad pertama dan perawi terakhir) sampai kepada akhir sanadnya (yang biasanya adalah sahabat)."
Dalam pengertian ini tercakup didalamnya Hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Rasulallah Saw), mauquf (yang disandarkan kepada tabi’in). Akan tetapi, pada umumnya penggunaan istilah musnad dikalangan ulama hadits adalah terhadap berita yang datang dari Rasulallah Saw dan bukan datang dari selain Beliau.
لا يستعمل إلا في المرفوع المتصل وهو الصحيح
" Tidak dipergunakan istilah musnad kecuali terhadap hadits marfu’ dan muttasil (yang bersambung sanadnya), dan itulah pendapat yang paling sahih. ."
الكتاب الذى جمع فيه ما أسنده الصحابه أي رووه
Kitab yang menghimpun hadits-hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Sahabat, seperti hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya adalah kitab Musnad Imam Hambal.

أن يطلق ويراد به الإسناد فيكون مصدرا
"Sebagai masdhar mimi dari sanad. Dan mempunyai arti yang sama dengannya”.
Musnid
Kata musnid adalah isim fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang menyandarkan sesuatu pada yang lainnya”. Sedangkan pengertian dalam istilah ilmu hadits adalah :
هو من يروي الحديث بسنده سواء أكان عنده علم به أم ليس له إلا مجرد الرواية
"Musnid adalah setiap perawi hadits yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, tetapi hanya sekedar meriwayatkan saja."


Matan
Matan menurut bahasa adalah "ما صلب وارتفع من الأرض" yang berarti “sesuatu yang keras dan menonjol dari permukaan bumi”. Sedangkan menurut istilah matan berarti ucapan yang ada setelah sanad. Sedangkan matan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khotîb berarti lafadz-lafadz hadits yang menjelaskan sesuatu yang diinginkan.
Contoh :

ٳنما الأعمال بالنيات وٳنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته ٳلى الله ورسوله فهجرته ٳلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته ٳلى ما هاجر ٳليه
Rowi
Rowi menurut bahasa ialah pemindah. Berasal dari bahasa arab rowâ-yarwî-riwâyatan, yang berarti memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari seseorang guru kepada yang lain, atau membukukannya kedalam kumpulan hadits.
Pemindah hadits itu dinamakan rawi. Rawi pertama adalah Shahabat dan rawi terakhir adalah yang membukukannya. Umpamanya Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Imam Hambal dan sebagainya.
Gelar ahli hadits
Para ulama telah memberikan beberapa laqab (gelar kemulyaan) kepada pemuka hadits sesuai dengan keahlian, kemahiran, dan kemampuan mereka menghafal ribuan hadits dan menguasai ilmu-ilmunya. Gelar penghormatan serta keahlian tersebut ialah sebagai berikut :
Amîrul Mu’minîn fil hadîts
Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah khalifah Abu Bakar As-Siddîq r.a. para khalifah diberikan gelaran demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan haditsnya. Para muhadditsin dimasa itu seolah-olah berfungsi sebagai khalifah dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain : Abdurrahman bin Abdullah bin Dakwan ( Abu Zinad), Syu’bah ibnu al-Hajjaj, Sufyan Ats Tsaury, Ishaq ibn Rahawaih, Al-Bukhary, Ahmad ibn Hambal, Ad Daruquthny dan Imam Muslim.
Adapun diantara para mutaakhirin yang memperoleh gelar ini, ialah An Nawawi (675 H), Al Mizzi, Adz Zahaby, dan Ibnu Hajar Al Atsqolany. Mereka merupakan imam-imam hadits terkemuka, yang mendapat kesaksian dari imam-imam besar dan mayoritas umat mengenai keimanan mereka dan kedalaman mereka dalam bidang ini.
Al-Hakim
Yaitu suatu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tarjih (tercela)-nya rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak. Beliau harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain : Ibnu Dinar (wafat 162 H), Al-Laits bin Sa’ad (seorang mawali yang menderita buta diakhir hayatnya dan meninggal 175 H), Imam Malik (179 H), dan Imam Syafi’i (204 H).


Al-Hafidh
Yaitu gelar ahli hadits yang dapat mengshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya. Menurut ahli hadits mutqaddimin bahwa pengertian Al-Hafidh sama dengan Al-Muhaddits. Dan menurut pendapat yang lain bahwa Al-hafidh lebih tinggi derajatnya dari Al-Muhaddits sekiranya yang diketahuinya lebih banyak dari yang tidak diketahuinya. Al-Hafidh harus menghafal hadits-hadits shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), ‘ilat-‘ilat hadits dan istilah-istilah para muhadditsin. Menurut sebagian pendapat, Al-Hafidh harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadits. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatîb, dia menuliskan pendapat Al-Miziy bahwa al-Hafidh adalah orang yang pengertiannya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya. Apabila dia berhasil menghafal lebih dari 100.000 hadits beserta sanadnya, maka ia mencapai julukan Hafidh Hujjah. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Al-‘Iraqy, Syafaruddin Ad-Dimyathy, Ibnu Hajar Al-Asqalany dan Ibnu daqiqi al-‘Id.
Al-Hujjah
Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah : Hisyam bin Urwah (wafat 146 H), Abu Hudzail Muhammad bin Al-Walid ( wafat 149 H), dan Muhammad Abdullah bin ‘Amr (wafat 242 H).
Al-Muhaddits
Menurut Muhadditsin mutaqaddimin Al-hafidh dan Al-muhaddits itu searti. Tetapi menurut Mutaakhirin Al-hafidh itu lebih khusus daripada Al-Muhaddits. Menurut At-Taju’s Subhi : “ Al-Muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, ‘ilat-’ilat, nama-nama rowi, ‘ali (tinggi) dan nazil (rendah)-nya suatu hadits, memahami Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Baihaqi, Majmu’ Thabarany, dan menghafal hadits sekurang-kurangnya 1000 hadits. Mahmud Thahan mendefinisikan bahwa Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dalam ilmu hadits baik dari sisi riwayat maupun diroyah dan mengetahui banyak riwayat dan keadaan perawinya. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khotîb Al-Muhaddits adalah orang yang mahir dalam penguasaan hadits baik riwayat maupun diroyat dan dapat membedakan hadits yang bermasalah dan yang shahih, mengetahui ilmu-ilmunya serta istilah-istilah ahli hadits dan mengetahui perawi yang disepakati dan yang diperdebatkan derajat periwayatannya serta mendapat pengakuan dari para ulama hadits dan mengetahui lafadz-lafadz hadits yang asing dan selainnya sehingga baik untuk diajarkan dan diamalkan. Adapun mereka yang mendapat gelar ini antara lain : ‘Atha’ bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat Makkah, wafat 115 H), dan Imam Az-Zabidy (salah satu imam yang mengikhtisarkan kitab Bukhary-Muslim).

Kesimpulan
Untuk mendalami pelajaran Ilmu Hadits, akan lebih baiknya kita mengetahui definisi-definisi penting dalam ilmu ini. Manfaat mengetahui definisi-definisi ini adalah untuk mempermudah kita mempelajari ilmu yang penting ini.
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pendefinisian hadits, sunnah, khobar, atsar dan sebagainya. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu yang mereka kuasai, serta tingkat keilmuan yang mereka miliki. Sebagaimana kita dapatkan berbagai macam perbedaan dalam pengambilan istilah untuk gelar atau laqab para ulama yang berkecimpung dalam ilmu hadits dan periwayatannya. Amîrul Mu’minîn fil hadîts, Al-Hafidh, Al-Hakim, Al-Hujjah, dan Al-Muhaddits, itulah gelar bagi mereka yang berkecimpung dalam ilmu ini. Sehingga hadits nabawi terjaga keshahihannya apabila hadits itu shahih dan jelas yang dha’if dan maudhu’nya apabila hadits itu bermasalah. Dan terjagalah agama yang suci ini dari berbagai hal yang diada-ada, sehingga jelas antara yang haq dan yang bathil.
Penutup
Demikianlah makalah ini kami tulis, namun tidak terlepas dari banyak kesalahan yang ada didalamnya. Segenap penghormatan dan ucapan terimakasih kami tujukan kepada Dosen Pembimbing kami Ustadz Andi Rahman MA yang telah banyak meluangkan waktu, ilmu dan bimbingannya hingga selesailah perbaikan “Makalah Ulumul Hadits” ini. Wallahu Muwaffiq ilâ aqwamit thoriq.
Daftar Pustaka

Bustamin, M, Salam, Isa H.A. Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada ). Cet I
Abadi, Fairuz, Kamus Muhit, (Beirut : Arrisalah, 1997). Cet. 8
Yuslim, DR. Nawir, MA. Ulumul hadits, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) Cet. I
As-Shalih, DR. Subhi, Ulumul Hadits Wa Mustolahuhu (Beirut : Dar al-Ilm lil-Malayin,1977). Yang telah diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Firdaus 1993). Cet. I
Thahan, DR, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, (Jakarta : Pustaka Thoriqul Izzah). Cet.I
Rahman,Drs. Fathur, Ikhtisar Mustolahul Hadits, (Bandung : Al-ma’arif, 1974), Cet. I
Ash Siddieqy, Prof. DR. Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2005). Cet. 9
Al-Khotîb, DR. ‘Ajjaj, Muhammad, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Radar Jaya Pratama, 1998). Cet. I.
Zein, Drs. Muhammad Ma’shum, MA, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, (Jombang : Darul Hikmah, 2008). Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar