Jumat, 08 Mei 2009

Sejarah Peradaban Islam


Islam di Spanyol dan pengaruhnya terhadap Renaisans di Eropa

PENDAHULUAN

Ketika periode klasik Islam mulai memasuki masa kemunduran, Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan Eropa bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan mereka mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi kemajuan mereka terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan dalam bidang inilah yang mendukung keberhasilan politiknya. Dalam catatan sejarah Islam, kemajuan-kamajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyol Islamlah, Eropa banyak menimba ilmu, karena pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting, menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan tinnggi Islam di Spanyol Islam. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa, karena itu kehadiran Islam di Spanyol banyak menarik perhatian para sejarawan[1].
Spanyol merupakan bagian dari wilayah kekuasaan daulat bani Umayyah di Damaskus dan setelah itu dikuasai oleh Abdurrahman ad Dakhil pada tahun 75 M, bersamaan dengan hancurnya daulat bani Umayyah di Damaskus. Kemudian pemerintah Islam di Spanyol menjadi pemerintahan yang berdiri sendiri di masa khalifah Abdurrahman III dan merupakan salah satu negara terbesar di masa itu, disamping daulat Abbasiyah di Timur, Bizantium dan kerajaan Charlemangne [Frank] di Barat[2]. Namun, pada masa pemerintahan berikutnya Spanyol mengalami kemunduran karena terjadi disintegrasi yang telah memporak-porandakan kesatuan dan persatuan Andalusia yang membawa kepada kehancuran Islam di Spanyol.


A. Masuknya Islam ke Spanyol
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah Al- Walid [105-715 M], salah seorang khalifah dari Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman khalifah Abdul Malik [685-705 M]. Khalifah Abd al Malik mengangkat Hasan ibn Nu’man al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah al-Walid, Hasan ibn Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zaman al-Walid itu, Musa ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Moroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan kekuasaan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa barbar di pegunungan-pegunungan, sehingga mereka menyatakan setia dan berjanji tidak akan membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu propinsi dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H [masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan] sampaitahun 83 H [masa al Walid][3]. Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu kerajaan Gothik. Kerajaan ini sering menghasut penduduk agar membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Islam. Setelah kawasan ini betul-betul dapat dikuasai, umat Islam mulai memusatkan perhatiannya untuk menaklukan Spanyol. Dengan demikian, Afrika Utara menjadi batu loncatan bagi kaum Muslimin dalam penaklukan wilayah Spanyol.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan pasukan-pasukan kesana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyebrangi selat yang berada di antara Morokko dan benua Eropa itu dengan pasukan perang, lima ratus orang diantaranya adalah tentara berkuda, mereka memiliki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian[4]. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad[5].
Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa Ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid. Pasukan itu kemudian menyebrangi Selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad[6]. Sebuah gunung tempat pertama kali Tharig dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar [Jabal Thariq]. Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariqdan pasukannya terus menaklukan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada, dan Toledo [ibu kota kerajaan Goth saat itu][7]. Sebelum Thariq menaklukan kota Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 personel, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000 orang[8].
Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Musa ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyebrangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukannya. Setelah Musa berhasil menaklukan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre[9].
Gelombang perluasan berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H / 717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abd al Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordesu, Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, di antara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Sesudah itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan, seperti ke Avirignon tahun 734 M, ke Lyon tahun 743 M dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah. Majorka, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus dan sebagian dari Silica juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayah[10]. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 m ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah dan bagian-bagian penting dari Italia[11].
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan[12]. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat didalam negeri Spanyol itu sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi kedalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, palagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal[13]. Rakyat dibagi-bagi kedalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Didalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam[14]. Berkenaan dengan itu Ameer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika [Timur dan Barat] menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat[15]. Akibat perlakuan keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan[16]. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri[17].
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industridan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan[18].
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam[19]. Maka dapat dikatakan, bahwa kondisi ini merupakan awal kehancuran kerajaan Goth adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa. Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick byang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin[20].
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan para prajurit islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri[21]. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong-menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana[22].


B. Perkembangan Islam di Spanyol
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir disana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu :


1. Periode Pertama [711-755 M]
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi duapuluh kali pergantian wali [gubernur] Spanyol dalam jangka waktuyang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus menerus bersaing, yaitu suku Qaisy [Arab Utara] dan Arab Yamani [Arab Selatan]. Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama[23].
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500 tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam dari bumi Spanyol. Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir dengan datangnya Abd al- Rahman Al- Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H / 755 M[24].

2. Periode Kedua [755-912 M]
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir [panglima atau gubernur] tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Bagdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H / 755 M dan diberi gelar Al-Dakhil [Yang Masuk ke Spanyol]. Dia adalah keturunan Bani Umayah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika yang terakhir ini berhasil menaklukan Bani Umayah di Damaskus. Selanjutnya, ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd al-Rahman al Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd al Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abd al-rahman, Munzir ibn Muhammad dan Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyolmulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu[25]. Pemikiran filsafat jugamulai masuk pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman al Aushat. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan [Martyrdom][26]. Gereja Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beagama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen. Peribadatan tidak dihalangi.Lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja baru, biara-biara di samping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer[27].
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusatdi pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi[28].


3. Periode Ketiga [912-1013 M ]
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abd al-Rahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok “ yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah, penggunaan gelar khalifah tersebut bermula dari beritayang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Al-Muktadir, Khalifah daulat bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan inimenunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang beada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang, yaitu Abd al-Rahman al-Nasir [912-961 M], Hakam II [961-976 M] dan Hisyam II [976-1009 M]).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan daulat Abbasiyah diBaghdad. Abd al-Rahman al Nashir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
Awal dari kehancuran khalifah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan aktual berada ditangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjukkan ibn Abi’ Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islamdengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya hancur total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu[29].

4. Periode Keempat [1013-1086 M]
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth-Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar di antaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatifpenyerangan. Mekipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sasterawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana yang lain[30].


5. Periode Kelima [1086-1248 M]
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang didominasi, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun [1086-1143 M] dan dinasti Muwahhidun [1146-1235 M]. Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 m ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang kristen. Ia dan tentaranta memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Apanyol dan ia berhasil untuk itu. Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun. Pada masa dinasti Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya pada tahun 1118 M. Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil, tetapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart [w 1128 M]. Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im, antara tahun 1114 dan 1154 M dan kota-kota muslim penting seperti Cordova, Almeria dan Granada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk jangka waktu beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan, akan tetapi pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami dinasti Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Kondisi Spanyol kembali semakin tidak menentu dan tidak terkendali, karana berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Pada tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248. Dengan demikian seluruh Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, kecuali Granada[31].

6. Periode Keenam [1248-1492 M]
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar [1232-1492]. Peradaban Islam kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nasir. Akan tetapi, secara politik dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini juga berakhir, karena perselisihan kalangan istana dalam perebutan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad, merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja dan akhirnya Abu Abdullah Muhammad memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Kemudian Abu Abdullah Muhammad meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella untuk menjatuhkan saudaranya dan dua penguasa Kristen tersebut dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah Muhammad naik tahta[32] dinobatkan sebagai khalifah.
Kerja sama Abu Abdullah Muhammad dengan dua penguasa Kristen tersebut, sebagai awal berakhirnya kekuasaan terakhir umat Islam di Cordova. Artinya, Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas dengan hanya membantu Abu Abdullah Muhammad, tetapi keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Maka keduanya melakukan serangan besar-besaran dan Abu Abdullah Muhammad tidak mampu menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya Abu Abdullah Muhammad mengaku kalah. Abu Abdullah Muhammad menyerahkan kekuasaannya kepada Ferdenand dan Isabella dan kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol pada tahun 1492M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Maka pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tiadak ada lagi umat Islam di daerah ini[33].

C. Kemajuan Peradaban
Islam di Spanyol lebih dari tujuh abad dan umat Islam telah mencapai kejayaannya di Spanyol. Banyak kemajuan dan prestasi yang diperoleh umat Islam di Spanyol, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Islam di Spanyol telah menunjukkan kemajuan pada bidang ilmu pengetahuan, musik dan seni, bahasa dan sastra, dan kemajuan pada pembangunan fisik.

1. Kemajuan Intelektual
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab [Utara dan Selatan], al-Muwalladun [orang-orang Spanyol yang masuk Islam], Barbar [umat Islam yang berasal dari Afrika Utara], al-Shaqalibah [penduduk daerah antara Konstanstinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran], Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmu pengetahuan, sastra dan pembangunan fisik di Spanyol[34]. Untuk itu, perlu mengkaji kemajuan yang dicapai umat Islam Spanyol, sebagai berikut :

a. Bidang Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat berilian dalam bentangan sejarah Islam. Umat Islam berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan dinasti Bani Umayyah yang ke-5 Muhammad ibn Abd al-Rahman [832-886 M][35].
Atas inisiatif al-Hikam [961-976 M], karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Tumur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para pemimpin bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa-masa sesudahnya.
Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan ibn Bajjah. Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayig, dilahirkan di Saragosa, kemudian ia pindah ke Sevilla dan Granada dan meninggal karena keracunan di Fez pada tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis dengan magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abd Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185 M. ibn Thufail, banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat, serta karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Pada bagian akhir abad ke-12 M, menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ibn Rusyd, lahir pada tahun 1126 M dan meninggal pada tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Ibn Rusyd, juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid.

b. Bidang Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas, termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Abbas ibn Farnas, adalah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu[36]. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash, terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. al-Naqqash, juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hisan bint Abi Ja’far dan saudara perempuannya al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia [1145-1228 M] menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier [1304-1377 M] mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib [1317-1374 M] menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudia pindah ke Afrika[37]. Itulah sebagai nama-nama besar dalam bidang sains yang terkenal pada masanya di Islam Spanyol.

c. Bidang Fikih
Dalam bindang fikir, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Orang yang membawa dan memperkenalkan mazhab ini di Spanyol adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Kemudian perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya di antaranya adalah Abu Bakar ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.

d. Bidang Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Setiap kali diselenggarakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimilikinya itu turunkan kepa anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas[38].

e. Bidang Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka-mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi.
Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti Al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi karya-karya yang lain[39].



2. Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sengat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga sistem Irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tampat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk [kolam] dibuat untuk konservasi [penyimpanan air]. Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air [water wheel] asal Persia yang dinamakan na’urah [Spanyol: Noria]. Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan tanaman-tanaman[40].
Industri, disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar[41]. Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, Istana al-Makmun, mesjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.

a. Cordova
Cordova adalah ibukota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun untuk menghiasi ibukota spanyol Islam itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibukota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsik.
Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah mesjid Cordova. Menurut ibn al-Dala’i, terdapat 491 mesjid di sana. Di samping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan–perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.


b. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Disana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hamra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.
Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana al-Zahra, istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain[42].

3. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan
Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd al-Rahman al-Dakhil, Abd al-Rahman al-Wasith dan Abd al-Rahman al-Nashir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad Ibn Abd al-Rahman [852-886] dan al-Hakam II al-Muntashir [961-976].
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisispasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing[43].
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerjasama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing. Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam[44].
Perpecahan politik pada masa Muluk al-Thawa’if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti [raja] di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk al Thawa’if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju[45].

D. Penyebab Kemunduran dan Kehancuran
Islam di Spanyol, menjadi pemerintahan yang berdiri sendiri di masa khalifah Abdurrahman III dan merupakan salah satu negara terbesar di masa itu, disamping daulat Abbasiyah di Timur, Bizantium dan kerajaan Charlemangne [Frank] di Barat. Tetapi pada masa pemerintahan berikutnya Spanyol mengalami kemunduran karena terjadi disintegrasi yang telah memporak-porandakan kesatuan dan persatuan Andalusia yang membawa kepada kehancuran Islam di Spanyol. Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran Islam di Spanyol antara lain :

1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata.[46] Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.

2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.

3. Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina perekonomian[47]. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.

4. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.

5. Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Pemerintahan Spanyol jauh dari daerah Islam lain mengakibatkan jauhnya dukungan dari daerah lain kecuali dari Afrika Utara yang dibatasi oleh laut, sementara daerah sekitarnya adalah daerah yang dikuasai kaum Nasrani yang salalu iri dan merasa direndahkan oleh etnis Arab. Maka Islam Spanyol, selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana[48].

E. Pengaruh Peradaban Spanyol Islam di Eropa
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antarnegara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik[49]. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd [1120-1198 M]. Ibn Rusyd, melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aritoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepanka sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme [Ibn Rusyd-isme] yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M.[50] Buku-buku Ibn Rusyd di cetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk didalamnyapemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, ilmu filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd[51].
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan bangkitan kembali [renaissance] pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali kedalam bahasa Latin[52].
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membina gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik [renaissance] pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17M, dan pencerahan [aufklaerung] pada abad ke-18 M[53].

________________________________________
[1] Badri Yatim, 1999, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 87..
[2] Abd Al-Hamid al-‘Ibadi, 1964, al-Mujmal fi Tarikh al-Andalus, Dal al-Qalam, Mesir, hlm.100., dalam Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, 1998, Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press, Yogyakarta, hlm. 71.
[3] A. Syalabi, 1983, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, Cet. Pertama, Pustaka Alhusna, Jakarta, hlm.154.
[4] Ibid. hlm. 158.
[5] Philip K. Hatti, 1970, History of the Arabs, Macmillan Press, London, hlm. 493., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 89.
[6] Cal Brockelmann, 1980, History of the Islamic Peoples, Rotledge & Kegan Paul, London, hlm. 83., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 89
[7] A. Syalabi, 1983, hlm. 161.
[8] Badri Yatim, 1999, hlm. 89.
[9] Carl Brockelman, 1980, hlm.14, dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 90.
[10] Harun Nasution, 1985, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I, Cet. Kelima, UII Press, Jakarta, hlm. 62.
[11] Bertold Spuler, 1960, The Muslim World: A Historical Survey, E.J. Brill, Leiden, hlm. 100., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[12] Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[13] Thomas W. Arnold, 1983, Sejarah Da’wah Islam, Wijaya, Jakarta, hlm. 118.
[14] Syeh Mahmudunnasir, 1981, Islam Its Concept & History, Kitab Bhavan, New Delhi, hlm. 214., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[15] S.M. Imaduddin, 1981, Muslim Spain: 711-1492 A.D, E.J. Brill, Leiden, hlm. 9., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[16] Armand Abel, 1983, “Spanyol: Perpecahan dalam Negeri”, dalam Gustav E. von Grunebaum [Ed], Islam: Kesatuan dan Keragaman, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, hlm. 243.
[17] Ibid. hlm. 239.
[18] S.M. Imaduddin, op.cit, hlm. 13.
[19] Badri Yatim, 1999, op.cit, hlm. 92.
[20] A. Syalabi, op.cit, hlm. 158.
[21] Thomas W. Arnold, op.cit, hlm. 125.
[22] Ibid. hlm. 120.
[23] David Wassenstein, 1985, Politics and Society in Islamic Spain: 1002-1086, Prenceton University Press, New Jersey, hlm. 15-16., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 94.
[24] Badri Yatim, 1999, op.cit, hlm. 94.
[25] Ahmad Syalabi, 1979, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4, Maktabah al-Nahdhah al-Maishriyah, Kairo, hlm. 41-50., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 95.
[26] Jurji Zaidan, [tt], Tarikh al-Tamaddun al-Islami, Juz III, Dar al-Hilal, Kairo, hlm. 200., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 95.
[27] Thomas W. Arnold, op.cit., hlm. 126.
[28] Bertold Spuler, op.cit., hlm. 106.
[29] W. Montgomery Watt, 1990, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Tiawa Wacana, Yogyakarta, hlm. 217-218, dan baca Badri Yatim, 1999, hlm. 96-97.
[30] Bertold Spuler, op.cit., hlm. 108, dan Badri Yatim, 1999, hlm. 98.
[31] Ahmad Syalabi, 1979, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4, Maktabah al-Nahdhah al-Mishiriyah, hlm. 75, dan Baca Badri Yatim, 1999, hlm.99.
[32] Ahamd Syalabi, hlm. 75.
[33] Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, hlm. 82.
[34] Luthfi Abd al-Badi, 1969, al-Islam fi Isbaniya, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Kairo, hlm. 38., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 101.
[35] Majid Fakhri, 1986, Sejarah Filsafat Islam, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 357.
[36] Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 86.
[37] Bertold Spuler, op.cit., hlm. 112.
[38] Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 88., dan baca : Bardi Yatim, 1999, hlm.103.
[39] Badri Yatim, 1999, op.cit., hlm. 103.
[40] Bertold Spuler, op, cit., Hlm. 103
[41] S. M. Imamuddin, op, Cit., Hlm. 79
[42] Baca: Badri Yatim, 1999, hlm.103-105.
[43] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Sitasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, [Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Tanpa Tahun], hlm 428, dalam Bardi Yatim, 1999, hlm.106.
[44] Majid Fakhri. Op. Cit., hlm 356
[45] Luthfi Abd al-Badi’, op., cit. Hlm. 10
[46] Armand Abel, op, cit., hlm. 246
[47] Ibid., hlm. 251
[48] Badri Yatim, 1999, hlm. 108.
[49] Philip K. Hitti, op, cit., hlm. 526-530
[50] S. I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, 1986, cetakan kedua), hlm. 67
[51] Zainal Abidin Ahmad, 1975, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Bulan Bintang, Jakarta; hlm. 148-149
[52] K. Bertenes, Ringkasan Sejarah Filsafat, [Yogyakarta: Kanisius, 1986, Cetakan kelima], h. 32. Tentang sejarah renassence dan reformasi baca J. B. Bury, Sedjarah Kemerdekaan Berfikir, [Djakarta: P.T Pembangunan, 1963], hlm. 63-82.
[53] S. I. Poeradisastra, op, cit., hlm. 77. Baca : Badri Yatim, 1999, hlm. 87-110. http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/96

Sosiologi Agama


Pendahuluan

Agama adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kelompok, golongan, atau individu. diIndonesia saja terdapat banyak agama, dari agama yang dilegalkan perkembangannya sampai agama-agama nenek moyang yang dari dahulu sampai sekarang masih dilestarikan. Diluar Negara kita terlebihnya, banyak agama dan organisasi-organisasi keagamaan yang bersosialisasi kepada masyarakat dengan ajaran-ajaran masing-masing. Sering kita bertanya mengapa agama disuatu tempat berbeda ditempat yang lain, atau cara peribadatan disuatu tempat berbeda ditempat yang lain? Mengapa terdapat banyak macam agama didunia ini. Apakah pula yang menyebabkan agama dapat diterima oleh manusia? Apakah karena faktor ketakutan, penghambaan, atau karena aspek yang lain? Bagaimana pula hubungan antara manusia dan agama? Pada makalah ini insyaallah akan dipaparkan sekelumit tentang pelbagai pertanyaan diatas.
Pembahasan

A. Sosiologi dan Agama
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan dalam berhubungan antar kelompok. Sosiologi sebagian mempunyai obyek yang sama dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, tetapi ia memandang peristiwa-peristiwa sosial dengan caranya sendiri, mendalam sampai hakekat segala pembentukan kelompok, hakekat kerjasama serta kehidupan bersama dalam arti kebendaan dan kebudayaan.
Agama, banyak sekali perbedaan dalam mendefinisikan agama, karena kata agama merupakan sebuah kata yang mempunyai banyak makna tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Seorang ilmuan W. H. Clark mengatakan bahwa tidak ada kata-kata yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama. Karena pengalaman agama adalah subyektif, intern, dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang lain. Disamping itu, tampak pada bahwa umumnya orang lebih condong kepada mengaku beragama, sekalipun ia tidak menjalankanya.
Tetapi menurut Harun Nasution, dari sekian banyak definisi agama belian mengambil intisari dari istilah-istilah agama dengan kata ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, yang mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu barasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, suetu kekuatan ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Dalam ruang lingkup ilmu sosiologi, agama merupakan hal yang sangat krusial dibahas karena agama sebagai salahsatu aspek dari tingkahlaku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama barabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarakat.
Sosiologi agama tidak menanyakan tentang hakekat agama, melainkan menyelidiki tempat agama dan penganutannya oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Penyelidikannya meluas lebih jauh lagi,dengan menentukan sampai seberapa jauh pengaruh agama dan organisasi keagamaan pada lapangan kerja umumnya dan pada tinjauan sosial tiap-tiap individu tersendiri.
Pada hal tersebut menggabungkan suatu soal pokok yang lain yaitu pertanyaan sampai seberapa jauh hidup sosial dan perubahan-perubahan struktur sosial menyinggung penganutan agama dan dan dapat mendorong organisasi keagamaan kesuatu arah tertentu.
Dari sinilah tingkah laku keagamaan diantara umat manusia untuk alasan-alasan yang praktis biisa diterima kebenarannya. Tak seorang ahli etnologi pun yang menemukan kelompok manusia tanpa bekas-bekas tingkah laku yang bisa dilukiskan dengan cara yang sama. Keadaan manusia adalah aspek utama dari keragaman ini.


B. Agama dan Manusia
Dari banyak definisi agama sampai-sampai tidak ada definisi agama yang mencapai standar memuaskan. Elizabet K Nottingham pengarang buku religion and society, sampai mengungkapkan statemen diatas, yaitu tidak ada definisi agama yang memuaskan. Karena suatu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi, bukan definisi.
Agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana hingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha menusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan sendiri dan keberadaan alamm semesta. Agama telah menimbulkan khayal yang yang luas dan jugga digunakan untuk kekejaman yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian kita tertuju kepada dunia yang tidak kita lihat (akhirat). Namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah kehidupan manusia sehari-hari. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru kedalam hati sanubari terhadap alam ghaib dan syurga-syurga yang didirikan dialam tersebut. Namun demikian juga agama berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Beribadah bersama-sama memakai lambang keagamaan telah mempersatukan manusia dalam ikatan yang paling erat, akan tetapi perbedaan agama telah membantu timbulnya beberapa pertentangan yamg palinng hebat diantara kelompok-kolompok itu.
Dengan lambang, manusia dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakekat pengalaman keagamaan selamanya tak dapat diungkapkan. Ide tentang tuhan dapat membantu manusia mengerjakan tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik, atau berusaha menguasai kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Pada prisipnnya, manusia berusaha untuk mengetahui rahasia dibalik sesuatu, memahami dan mendamaikan antara dua kutub utama yang berlawanan satu sama lain dalam diri mereka sendiri : baik dengan buruk, cinta dengan benci, iibadah dengan maksiat dan lain sebagainya.
Apakah artinya semua ini terhadap pengkaji masyarakat? Meskipun ia tidak bersikap masa bodoh terhadap masalah yang timbul karena sifat dasar dari agama itu sendiri, namun perhatian utama adalah kapada agama yang diwujudkan dalam tingkah laku manusia.
Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apapun, konsepsi tentang agama merupakan bagian yang tidaka akan terpisahkan dari pandangan hidup mereka dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral sehingga sukar bagi kita sendiri sebagai orang-orang modern untuk melihat agama dari kacamata ilmiah yang jujur.
Pemeluk suatu agama tentu saja dikendalkan oleh kesetiaan, kayakinan, dan kekaguman tehadap agama mereka. Tugas dari pengkaji masyarakat adalah mencari kebenaran. Meskipun demikian, dalam mencari kebenaran tersbut dia harus mengendalikan dan menggunakan semua perasaan dan emosinya dan malah merasa bebas sama sekali. Karenanya, sikap pengkaji dan pemeluk agama harus tetap berada dalam batas kepribadiannya sebagai individu.
Sekarang banyak sarjana sosiologi yang berusaha mendifinisikan agama dengan melihat manusia sebagai pelaku. Dan mereka memberikan tekanan khusus pada bagaimana mereka menggunakan agama pada kehidupan sosialnya dan bahkan pada semua aspek kehidupannya. Meskipun usaha pada masa dulu untuk mendefinisikan agama dipandang dari sumber aslinya ternyata berkhir tanpa hasil, namun pandangan yang lebih baru, meskipun kurang dogmatic, sedikit banyaknya melibatkan asumsi-asumsi yang jelas tentang manusia itu sendiri, sifatnya dan kebutuhan-kebutuhannya.
Penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai buah pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Ini adalah bagian, bukan hakekat dari kebenaran itu. Durkheim kemudian juga Freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Meskipun perasaan dan emosi merupakan aspek tingkah laku keagamaan. Namun agama itu sendiri tidak dapat dianggap sebagai ”sesuatu yang semata-mata” didorong kelahirannya oleh kegembiraan kelompok khalayak ramai (pendapat Durkheim, red) atau seperti dikatakan Freud, sebagai akibat dari dorongan nafsu seksual yang mendapatkan saluran. Diantara binatang-binatang, hanya manusia yang mampu menciptakan bahasa simbolik dan pemkiran abstak. Dia tidak hanya berbuat dan berkreasi, tapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan. Karena itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memikirkan alam, mecapai keserasian dan kecemasannya ada kalanya terikat dengan kesadaran beragamanya yang mendalam.
Penelitian modern banyak mendukung pendapat itu. Tetapi manusia tidak menghadapi masa depannya dengan dengan perasaan khawatir, tetapi juga menggunakan kemampuannya untuk menanggapi kejadian-kejadian secara dini sebagai pendorong timbulnya cita-cita, hasrat dan harapannya yang kreatif. Lagi pula kita lihat manusia tidak hanya mengalami tapi juga meemikirkan pengalaman-pengalamannya dan berusaha karas menciptakan penafsiran-penafsiran yang akan member makna kepada pengalaman-pengalaman tersebut.
Agama yang dianut manusia, tidak seperti perekonomiannya, tidak dapat diambil dari satu anugrah yang dimiliki bersama dengan binatang-binatang lainnya. Tidak juga dianggap bahwa ia berasal dari salah satu aspek dari sifat-sifat khusus manusia. Bagaimanapun pentingnya bagi agama ketergantungan anak pada orangtua mereka dalam jangka waktu yang lama tidak dapat dijelaskan kecuali sebagai proyeksi dari tokoh figure orang tua dalam ukuran besar. Ini adalah teori yang memberikan pengertian yang berat sebelah. Ilmu sosial modern menunjukan fakta bahwa motifasi bagi agama sama rumitnya dengan keadan manusia itu sendiri.
Mungkin belum terpecahkan masalah motivasi agama itu. Tetapi paling tidak kami menunjukkan beberapa aspek dari keseluruhan situasi manusia yang berkaitan langsung dengan agama sebagai salah satu langkah awal untuk menganalisa tingkah laku keagamaan dan hubungannya dengan masyarakat.
C. Sakral dan Ghaib
Sakral berarti suci, keramat, atau kerohanian. Ghaib adalah sesuatu yang bersifat rahasia, tak terlihat, tak tampak, tersembunyi. Sesuatu yang sakral lebih mudah untuk didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan sampai yang sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang kita kenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa, atau yang sering kita katakan yang sakral dengan yang sekuler atau duniawi. Namun hampir semua benda yang ada dilangit dan bumi disakralkan. Orang hindu memuja lembu yang suci, orang muslim mengsakralkan batu hitam yang ada disalah satu sudut ka’bah, orang Kristen memuja salib diatas altar dan sebagainya.
Ciri umum apakah yang dapat kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tak terbatas ini? Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujudnya saja kita tidak akan mendapat jawaban, justru dari sikap manusia dan perasaannya kita dapat tau jawabannya. Adalah sikap dan perasaan manusia yang dapat memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian, kesakralan terwujud karena sikap mental manusia yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum sendiri sebagai emosi saakral yang paling nyata. Adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Intinya, bahwa yang sakral itu tidak difahami dengan akal sehat yang bersifat empirik untuk memenuhi kebutuhan praktis.
Perlu diketahui bahwa benda-benda yang sakral sebenarnya secara lahiriyah tidak jauh berbada dengan benda-benda biasa yang dikenal sehari-hari. Bagi orang-orang yang tidak mengetahui, lembu yang sakral (keramat, red) menurut orang-orang Hindu akan persis seperti lembu-lembu yang lain, sama saja dengan salib seperti kayu yang dipalangkan. Tapi sekali lagi, sikap dari pemeluklah membuat perbedaan penting dalam hal ini.
Kemudian ada apa dengan perihal ghaib? Sebagaimana tertera diatas bahwa sakral termasuk gaib, tapi dia tidak sama dengan ghaib. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesakralan itu adalah sikap para pemeluknya saja. Sedangkan yang gaib adalah benda-benda dan wujud-wujud dari dunia lain yang diyakini berada diluar dunia yang dikenal secara indrawi. Dan yang ghaid dalam pengertian inilah tujuan utama tingkah laku keagamaan dikalangan sekte-sekte besar seperti yahudi dan nasrani. Contohnya, Tuhan dan Syurga adalah sakral dalam dunia ghaib, kemudian lilin dan kitab-kitab merupakan lambang-lambang dari hal yang ghaib menurut Yahudi.
D. Pengalaman “Ibadah atau Ritus”
Namun demikian tidaklah cukup jika benda-benda dan wujud-wujud sakral tersebut sekedar “ada”, tapi eksistensinya harus dipelihara terus menerus dan dihidupkan dalam hati pemujanya. Kepercayaan-kepercayaan yang terdiri dari syahadat-syahadat dan mitos-mitos serta pengalaman-pengalaman yang terdiri dari upacara keagamaan dan peribadatan membantu untuk tujuan ini (keeksistensiannya, red). Kepercayaan keagamaan bukan hanya mengakui keberadaan benda-benda dan makhluk-makhluk ghaib tetapi seringkali memperkuat dan mengokohkan keyakinan terhadapnya. Agama juga mencoba mencoba menjelaskan asal-usul makhluk sakral ini, dan boleh dikatakan agama menyediakan peta dan petunjuk untuk mencapai alam ghaib. Kepercayaan keagamaan dapat dirinci dalam teologi (ilmu yang membicarakan tentang tuhan) dan kosmologi (ilmu yang membicarakan tentang alam semesta).
Dalam pembicaraan tentang agama ini, orang-orang barat terlalu banyak menekankan kepercayaan dalam aspek-aspeknya yang lebih intelektual. Pada perselisihan mengenai teologi dan kredo yang telah memainkan peranan begitu penting dalam sejarah keagaaman kita. Akan tetapi untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadah dan upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus (ibadah, red) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja mencakup semua jenis tingkah laku, seperti memakai jenis pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan formal tertentu, memuja, berpuasa, dan sebagainya.
Dengan demikian sifat sakral dalam ritus, seperti halnya benda-benda sakral, tidak tergantung pada cirri hakekatnya tetapi pada mental dan sikap-sikap emosional kelompok terhadapnya dan kepada konteks sosiokultural ditempat dilaksanakannya ritus tersebut.
Perbuatan yang sama, misalkan makan bisa bersifat biasa dalam satu konteks tertentu, tetapi dalam konteks yang lain justru merupakan hal yang sakral seperti ikut makan pada jamuan perayaan paskah. Dalam kata lain ritus menyatakan atau menunjukkan dengan jelas dalam konteks mana tingkah laku sakral itu terjadi. Ritus juga memberikan peranan tertentu kepada orang-orang yang ikut andil didalamnya. Dengan pengulangan-pengulangan secara teratur dan cermat ritus tersebut menyalurkan emosi dan juga meningkatkan kekuatan pendorong timbulnya emosi tersebut dari symbol-simbol yang dipakai.
Jadi, salah satu fungsi penting ritus adalah memperkuat keyakinan terhadap adanya dunia yang ghaib dan memberikan cara-cara pengungkapan emosi keagamaan secara simbolik.

E. Makna Simbol (Lambang)
Dapat dimaknai perlambangan yaitu gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan menggunakan benda-benda yang lain sebagai perlambangan. Karena inti emosi keagamaan dipandang tidak dapat dieksprisikan, maka upaya untuk itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan karena itu bersifat simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sakral yang ghaib dalam fikiran dan jiwa para pemeluk (agama) yang bersangkutan.
Simbolisme meskipun kurang tepat dibandingkan dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah, tetap mempunyai potensi istimewa. Karena lambang mampu mengbangkitkan perasaan dan keterikatan lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai sebagai lambang tersebut. Lambang-lambang tersebut sepanjang sejarah merupakan pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk difahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang sangat efektif untuk mempererat persatuan antara pemeluk agama didunia. Ini tidak lain karena makna lambang-lambang tersebut menyimpang jauh dari definisi-definisi intelektual sehingga kemampuan lambang-lambang tersebut untuk mempersatukan lebih besar, sedangkan definisi-definisi itelektual menimbulkan perpecahan. Lambang bisa dimiliki bersama karena didasari perasaan yang tidak dirumuskan terlalu ketat.
F. Nilai-nilai Moral
Pengamalan atau pemilikan bersama kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus menunjukan bahwa hubungan antara anggota-anggota kelompok dengan hal-hal yang sakral dalam beberapa hal yang erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok itu. Hubungan ini terlihat jelas dalam sikap para anggota kelompok pemeluk agama tertentu. Contohnya, pemeluk agama yang memantang makanan tertentu atau tidak menyembelih binatang tertentu. Seperti orang Hindu, yang memantang untuk menyembelih dan memakan lembu. Dan hal itu membantu mempersatukan para pemeluk agama Hindu serta membedakan mereka dari orang-orang muslim dan Yahudi yang makan daging sapi atau lembu dan tidak memakan babi.
Hubungan antara konsepsi (pemikiran) masyarakat tentang sakral dan nilai-nilai moral kelompok bisa dijelaskan dengan cara lain. Jenis hubungan-hubungan yang oleh kelompok tertentu dipercayai adanya diantara makhluk-makhluk sakral dialam ghaib, dan juga diantara makhluk-makhluk tersebut dengan umat manusia, sering dianggap sebagai pola ideal dari hubungan sesama manusia yang seharusnya ada dalam masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai moral yang diberlakukan kepada para penghuni alam ghaib itu memberi pengakuan yang sakral terhadap nilai-nilai moral bagi manusia didunia nyata.
Nilai-nilai moral apapun-dan nilai-nilai moral tersebut mencakup aktifitas-aktifitas yang sangat luas-penekanan yang dilakukan oleh suatu kelompok keagamaan pada nilai-nilai tertentu membuat suatu kelompok berbeda dengan yang lain. Karena nilai ini ditekankan oleh para pendeta, kyai, pendeta yahudi dan sebagainya dan ditanamkan oleh orangtua kepada anak-anak mereka dari generasi ke generasi selanjutnya. Kita akan memahami bahwa ketaatan terhadap nilai-nilai moral tersebut berfungsi menyatukan kelompok pemeluk kedalam suatu masyarakat moral.
G. Agama Supernatural (Ghaib) dan Agama sekuler
Agama-agama tradisional didunia, yaitu Budha, Yahudi, Kristen, Hindu dan Islam dengan penekanan mereka pada yang sakral dan nilai-nilai diluar dunia ini, semuanya adalah agama-agama supernatural. Akan tetapi terdapat gerakan-gerakan yang kuat didunia modern yang tidak menekankan supernaturalisme, namun memiliki sebagian besar cirri agama. Pergerakan ini mempunyai kepercayaan dan upacara-upacara keagamaan, simbolisme, dan kelompok-kelompok pemeluk yang taat yang diikat oleh nilai-nilai moral bersama. Misalkan Nasionalisme, fasisme dan komunisme. Dan kita dapat menggolongkannya kepada agama sekuler.
Mari kita lihat kasus komunisme, teori komunis menganut pandangan matrealistik terhadap masyarakat dan apalagi terhadap alam semesta. Orang-orang komunis sama sekali tidak menghormati dan tidak mengagungkan wujud-wujud supernatural. Sampai sekarang mereka dengan keras melarang pengamalan agama supernatural, dan museum mereka diperuntukkan bagi pengembangan ateisme dan matrealisme ilmiah. Tidak ada tempat bagi agama supernatural disini.
Sementara orang barangkali melihat kenyataan atau fakta yang menarik, bahwa meskipun usaha untuk mempertahankan agama-agama supernatural pada banyak orang sekarang diseluruh dunia mengalami kemerosotan, namun sikap kaagamaan masih bertahan. Sikap ini kelihatannya dengan mudah dapat diarahkan kembali menuju nilai-nilai nonsupernatural, sehingga mengesankan terhadap keuniversalan agama dikalangan umat manusia. Fakta mengenai keuniversalan agama ini pada gilirannya akan menimbulkan persoalan-persoalan penting mengenai fungsi agama didalam masyarakat.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesipulan bahwa :
- Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan dalam berhubungan antar kelompok.
- Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, yang mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu barasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, suetu kekuatan ghaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
- Sosilogi agama tidak menanyakan tentang hakekat agama, melainkan menyelidiki tempat agama dan penganutannya oleh masyarakat dalam kehidupan sosial.
- Agama sangat mempengaruhi pola hidup manusia didalam kesehariannya, dalam berinteraksi dengan sesamanya.
- Kesakralan terwujud karena sikap mental manusia yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata. Adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Sakral tercipta karena manusia sendiri.
- Nilai-nilai moral apapun-dan nilai-nilai moral tersebut mencakup aktifitas-aktifitas yang sangat luas-penekanan yang dilakukan oleh suatu kelompok keagamaan pada nilai-nilai tertentu membuat suatu kelompok berbeda dengan yang lain.
Penutup
Demikianlah ini kami tulis. Tentunya masih banyak terdapat kekurangan disana-sini. Dengan kekurangan tersebut kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ucapan terimakasih tak lupa kami ucapkan kepada Bapak Dosen Pembimbing, Bapak Abdul Muid Nawawi, MA. Karena berkat bimbingannya terselesaikanlah makalah sederhana ini. Wallahu Muwaffiq Ilaa Aqwamitthoriiq.




Daftar Referensi :
1. Nottingham, Elizabet K, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Cet. 8
2. Bouman, DR. P. J, Sosiologi Pengetian dan Masalah, (Jogjakarta: Yayasan Kanisius, 1976) Cet. 13
3. Drajat, Prof. DR. Zakiah, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) Cet. 8
4. Nasution, Harun Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid I (Jakarta: UI Press, 1971)
5. Partanto, A Pius, Dahlan, M. Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994)

Ulumul Hadits

Makalah Ulumul hadits

Hadits
Kata hadits barasal dari bahasa arab الحديث yang jamaknya adalah الأحاديث. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya : الجديد (al-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata القديم (al-qodîm) yang berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw itu adalah hadits (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah yang bersifat qodîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadits berarti sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah, hadits diberi pengertian yang berbeda oleh para ulama. Menurut Ibn al-Subhi (wafat 771 H = 1370 M), hadits adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. Beliau tidak memasukkan taqrîr Nabi Muhammad Saw sebagai bagian dari rumusan definisi hadits. Sementara pendapat masyhur ulama mengatakan hadits adalah :
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله وأحواله
"Segala perkataan Nabi Saw, perbuatan dan hal ihwalnya"

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا أو فعلا أوتقريرا أو صفة
“Apa yang disandarkan kepada Nabi Saw baik perkataan, perbuatan, taqrîr, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw”.
Contoh :
عن أمير المؤمنين أبى حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ٳنما الأعمال بالنيات وٳنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته ٳلى الله ورسوله فهجرته ٳلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته ٳلى ما هاجر ٳليه ( رواه البخارى ومسلم )
Adapun menurut ahli ushul, hadits mempunyai pengertian :
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله وتقريراته التي تثبت الأحكام وتقرره
"Semua perkataan Nabi Saw, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan ketetapannya"
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala yang bersumber dari Nabi Saw, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan erat dengan hukum-hukum dan ketetapan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Dalam konsep ahli ushul ini berarti segala sesuatu selain hal yang telah disebutkan tidak masuk dalam pengertian hadits.
Lain halnya dengan ahli fiqh, hadits dipandang sebagai suatu perbuatan yang harus dilakukan, tatapi tingkatannya tidak sampai pada wajib atau fardlu, sebab hadits masuk kedalam pekerjaan yang status hukumnya lebih utama dikerjakan. Artinya suatu amalan apabila dikerjakan mendapatkan pahala, akan tetapi apabila ditinggalkan tidak dituntut apa-apa. Akan tetapi apabila ketentuan itu dilanggar akan mendapat dosa.
Sunnah
Menurut bahasa sunnah berarti at torîqoh, as sîroh, at tobîah yang berarti jalan, kisah, atau tabi’at. Sedangkan menurut istilah ahli hadits :
ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أوتقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء كان قبل البعثة أوبعدها
“Sesuatu yang disandarkan kepada Rasulallah baik perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup baik sebelum beliau diangkat menjadi rasul seperti tahannus dilakukan beliau yang digua hiro atau sesudahnya.”
Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ahli hadits membawa masuk semua bentuk kebiasaan Nabi Saw (yang umum maupun yang syara’) kedalam pengertian sunnah dan memiliki makna sama dengan pengertian hadits.
Contoh:
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كرية من كرب يوم القيامة ( رواه مسلم )
Adapun menurut ahli ushul, sunnah berarti :
كل ماصدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القران الكريم من قول أو فعل أوتقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw selain al-qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya yang memang layak sebagai dalil bagi hukum syara’.
Dari definisi tersebut, sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan kapada Nabi Saw, tetapi hanya sebatas yang berhubungan dengan hukum syara’ saja, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya. Sedang sifat-sifat yang melekat pada diri beliau, yaitu perilaku dan perjalanan hidup beliau yang tidak berhubungan dengan hukum syara’ serta terjadinya sebelum beliau diangkat sebagai Rosul tidak termasuk dalam kategori pengertian sunnah. Begitu juga yang bersumber dari sahabat atau tabi’in tidak dapat dikategorikan sunnah, karna ini hanya terbatas untuk yang bersumber dari Rasulallah Saw.
Lain halnya dengan prespektif ahli fiqh, definisi sunnah menurut mereka adalah :
ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من غير افتراض ولا وجوب وتقابل الواجب وغيره من أحكام الخمسة
“Semua ketetapan yang berasal dari nari Nabi Saw selain dari yang difardlukan, diwajibkan dan termasuk kelompok hukum (taklif) yang lima”
Definisi ini menunjukkan bahwa objek pembahasan para ahli fiqh hanya terbatas pada pribadi dan perilaku beliau sebagai landasan hukum syara’ untuk diterapkan pada perbuatan manusia pada umumnya, baik yang wajib,haram, makruh, mubah maupun sunnah. Karenanya, jika dikatakan perkara ini sunnah maka yang dikehendaki adalah pekerjaan itu memiliki nilai hukum yang dibebankan oleh Allah kepada setiap orang dewasa, berakal sehat dengan tuntutan “tidak wajib” (menurut Syafi’i), atau tidak fardlu (menurut Hanafi).
Khobar
Secara bahasa khobar adalah sinonim dari kata an naba’ yang berarti cerita. Jamaknya adalah akhbâr. Dibanding dengan sunnah, khabar lebih layak menjadi sinonim hadits. Sebab, tahdis (pembicaraan) tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Adapun secara istilah ada tiga pendapat ulama tentang khobar :
Khobar adalah sinonim hadits yang secara istilahnya sama seperti pengertian hadits.
Khobar berbeda dengan hadits. Hadits sesuatu yang datang dari Rasulallah Saw, adapun khobar adalah sesuatu yang datang dari selain Rasulallah Saw.
Khobar bersifat lebih umum dibandingkan dengan hadits karena khobar bersumber dari Rasulallah Saw dan lainnya.
Atsar
Atsar secara bahasa bararti bekas atau sisa dari sesuatu. Adapun secara istilah ada dua pendapat tentang definisi atsar :
Atsar adalah sinonim hadits atau makna secara istilahnya sama.
Atsar berbeda dengan hadits. Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in dari perkataan atau perbuatan.
Contoh :
قال عمر رضي الله عنه : نحكم بالظواهر والله يحكم بالسرائر .
قال علي رضي الله عنه : إن العلم أفضل من المال .
Sanad
Sanad menurut bahasa berarti al mu’tamad (tempat bersandar) . Disebut seperti itu karena hadits disandarkan atau menyandarkan padanya. Atau dapat juga diartikan ما ارتفع" من الأرض “sesuatu yang terangkat (tinggi dari tanah)”. Adapun menurut istilah para ahli hadits sanad adalah jalannya matan yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumber yang pertama. Al-Tantawi mengemukakan definisi yang hampir senada bahwa sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits, yaitu nama-nama perawinya secara berurutan.
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dho’ifnya suatu hadits. Andaikata salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasik atau yang tertuduh dusta maka dho’iflah hadits itu, hingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum.
Contoh :
عن ...... عن ...... عن ..... عن ........ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم .
حدثنا ..... حدثنا ..... حدثنا ..... حدثنا ..... حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم .

Isnad
Isnad secara etimologi berarti menyandarkan sesuatu pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, Isnad mempunyai dua arti :
Mengembalikan hadits kepada yang mengatakannya, sebagai sandaran.
Urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut kepada matan (teks hadits). Dengan makna seperti ini berarti sinonim dari sanad.
Dalam arti yang lain bisa dikatakan, “ usaha seorang ahli hadits dalam menerangkan suatu hadits yang diikutinya dengan penjelasan kepada siapa hadits itu disandarkan, disebut meng-isnad-kan ”.
Musnad
Musnad adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja asnada, yang berarti sesuatu yang disandarkan kepada yang lain. Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian :
الحديث الذى اتصل سنده من راويه إلى منتهاه
“Hadits yang besambung sanadnya dari perawinya (contonya Imam Bukhori sebagai sanad pertama dan perawi terakhir) sampai kepada akhir sanadnya (yang biasanya adalah sahabat)."
Dalam pengertian ini tercakup didalamnya Hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Rasulallah Saw), mauquf (yang disandarkan kepada tabi’in). Akan tetapi, pada umumnya penggunaan istilah musnad dikalangan ulama hadits adalah terhadap berita yang datang dari Rasulallah Saw dan bukan datang dari selain Beliau.
لا يستعمل إلا في المرفوع المتصل وهو الصحيح
" Tidak dipergunakan istilah musnad kecuali terhadap hadits marfu’ dan muttasil (yang bersambung sanadnya), dan itulah pendapat yang paling sahih. ."
الكتاب الذى جمع فيه ما أسنده الصحابه أي رووه
Kitab yang menghimpun hadits-hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Sahabat, seperti hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya adalah kitab Musnad Imam Hambal.

أن يطلق ويراد به الإسناد فيكون مصدرا
"Sebagai masdhar mimi dari sanad. Dan mempunyai arti yang sama dengannya”.
Musnid
Kata musnid adalah isim fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang menyandarkan sesuatu pada yang lainnya”. Sedangkan pengertian dalam istilah ilmu hadits adalah :
هو من يروي الحديث بسنده سواء أكان عنده علم به أم ليس له إلا مجرد الرواية
"Musnid adalah setiap perawi hadits yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, tetapi hanya sekedar meriwayatkan saja."


Matan
Matan menurut bahasa adalah "ما صلب وارتفع من الأرض" yang berarti “sesuatu yang keras dan menonjol dari permukaan bumi”. Sedangkan menurut istilah matan berarti ucapan yang ada setelah sanad. Sedangkan matan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khotîb berarti lafadz-lafadz hadits yang menjelaskan sesuatu yang diinginkan.
Contoh :

ٳنما الأعمال بالنيات وٳنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته ٳلى الله ورسوله فهجرته ٳلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته ٳلى ما هاجر ٳليه
Rowi
Rowi menurut bahasa ialah pemindah. Berasal dari bahasa arab rowâ-yarwî-riwâyatan, yang berarti memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari seseorang guru kepada yang lain, atau membukukannya kedalam kumpulan hadits.
Pemindah hadits itu dinamakan rawi. Rawi pertama adalah Shahabat dan rawi terakhir adalah yang membukukannya. Umpamanya Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Imam Hambal dan sebagainya.
Gelar ahli hadits
Para ulama telah memberikan beberapa laqab (gelar kemulyaan) kepada pemuka hadits sesuai dengan keahlian, kemahiran, dan kemampuan mereka menghafal ribuan hadits dan menguasai ilmu-ilmunya. Gelar penghormatan serta keahlian tersebut ialah sebagai berikut :
Amîrul Mu’minîn fil hadîts
Gelar ini sebenarnya diberikan kepada para khalifah setelah khalifah Abu Bakar As-Siddîq r.a. para khalifah diberikan gelaran demikian mengingat jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapakah yang dikatakan khalifah, bahwa khalifah ialah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama meriwayatkan haditsnya. Para muhadditsin dimasa itu seolah-olah berfungsi sebagai khalifah dalam menyampaikan sunnah. Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain : Abdurrahman bin Abdullah bin Dakwan ( Abu Zinad), Syu’bah ibnu al-Hajjaj, Sufyan Ats Tsaury, Ishaq ibn Rahawaih, Al-Bukhary, Ahmad ibn Hambal, Ad Daruquthny dan Imam Muslim.
Adapun diantara para mutaakhirin yang memperoleh gelar ini, ialah An Nawawi (675 H), Al Mizzi, Adz Zahaby, dan Ibnu Hajar Al Atsqolany. Mereka merupakan imam-imam hadits terkemuka, yang mendapat kesaksian dari imam-imam besar dan mayoritas umat mengenai keimanan mereka dan kedalaman mereka dalam bidang ini.
Al-Hakim
Yaitu suatu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tarjih (tercela)-nya rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak. Beliau harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain : Ibnu Dinar (wafat 162 H), Al-Laits bin Sa’ad (seorang mawali yang menderita buta diakhir hayatnya dan meninggal 175 H), Imam Malik (179 H), dan Imam Syafi’i (204 H).


Al-Hafidh
Yaitu gelar ahli hadits yang dapat mengshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya. Menurut ahli hadits mutqaddimin bahwa pengertian Al-Hafidh sama dengan Al-Muhaddits. Dan menurut pendapat yang lain bahwa Al-hafidh lebih tinggi derajatnya dari Al-Muhaddits sekiranya yang diketahuinya lebih banyak dari yang tidak diketahuinya. Al-Hafidh harus menghafal hadits-hadits shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), ‘ilat-‘ilat hadits dan istilah-istilah para muhadditsin. Menurut sebagian pendapat, Al-Hafidh harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadits. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatîb, dia menuliskan pendapat Al-Miziy bahwa al-Hafidh adalah orang yang pengertiannya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya. Apabila dia berhasil menghafal lebih dari 100.000 hadits beserta sanadnya, maka ia mencapai julukan Hafidh Hujjah. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Al-‘Iraqy, Syafaruddin Ad-Dimyathy, Ibnu Hajar Al-Asqalany dan Ibnu daqiqi al-‘Id.
Al-Hujjah
Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah : Hisyam bin Urwah (wafat 146 H), Abu Hudzail Muhammad bin Al-Walid ( wafat 149 H), dan Muhammad Abdullah bin ‘Amr (wafat 242 H).
Al-Muhaddits
Menurut Muhadditsin mutaqaddimin Al-hafidh dan Al-muhaddits itu searti. Tetapi menurut Mutaakhirin Al-hafidh itu lebih khusus daripada Al-Muhaddits. Menurut At-Taju’s Subhi : “ Al-Muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, ‘ilat-’ilat, nama-nama rowi, ‘ali (tinggi) dan nazil (rendah)-nya suatu hadits, memahami Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Baihaqi, Majmu’ Thabarany, dan menghafal hadits sekurang-kurangnya 1000 hadits. Mahmud Thahan mendefinisikan bahwa Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dalam ilmu hadits baik dari sisi riwayat maupun diroyah dan mengetahui banyak riwayat dan keadaan perawinya. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khotîb Al-Muhaddits adalah orang yang mahir dalam penguasaan hadits baik riwayat maupun diroyat dan dapat membedakan hadits yang bermasalah dan yang shahih, mengetahui ilmu-ilmunya serta istilah-istilah ahli hadits dan mengetahui perawi yang disepakati dan yang diperdebatkan derajat periwayatannya serta mendapat pengakuan dari para ulama hadits dan mengetahui lafadz-lafadz hadits yang asing dan selainnya sehingga baik untuk diajarkan dan diamalkan. Adapun mereka yang mendapat gelar ini antara lain : ‘Atha’ bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat Makkah, wafat 115 H), dan Imam Az-Zabidy (salah satu imam yang mengikhtisarkan kitab Bukhary-Muslim).

Kesimpulan
Untuk mendalami pelajaran Ilmu Hadits, akan lebih baiknya kita mengetahui definisi-definisi penting dalam ilmu ini. Manfaat mengetahui definisi-definisi ini adalah untuk mempermudah kita mempelajari ilmu yang penting ini.
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pendefinisian hadits, sunnah, khobar, atsar dan sebagainya. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu yang mereka kuasai, serta tingkat keilmuan yang mereka miliki. Sebagaimana kita dapatkan berbagai macam perbedaan dalam pengambilan istilah untuk gelar atau laqab para ulama yang berkecimpung dalam ilmu hadits dan periwayatannya. Amîrul Mu’minîn fil hadîts, Al-Hafidh, Al-Hakim, Al-Hujjah, dan Al-Muhaddits, itulah gelar bagi mereka yang berkecimpung dalam ilmu ini. Sehingga hadits nabawi terjaga keshahihannya apabila hadits itu shahih dan jelas yang dha’if dan maudhu’nya apabila hadits itu bermasalah. Dan terjagalah agama yang suci ini dari berbagai hal yang diada-ada, sehingga jelas antara yang haq dan yang bathil.
Penutup
Demikianlah makalah ini kami tulis, namun tidak terlepas dari banyak kesalahan yang ada didalamnya. Segenap penghormatan dan ucapan terimakasih kami tujukan kepada Dosen Pembimbing kami Ustadz Andi Rahman MA yang telah banyak meluangkan waktu, ilmu dan bimbingannya hingga selesailah perbaikan “Makalah Ulumul Hadits” ini. Wallahu Muwaffiq ilâ aqwamit thoriq.
Daftar Pustaka

Bustamin, M, Salam, Isa H.A. Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada ). Cet I
Abadi, Fairuz, Kamus Muhit, (Beirut : Arrisalah, 1997). Cet. 8
Yuslim, DR. Nawir, MA. Ulumul hadits, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) Cet. I
As-Shalih, DR. Subhi, Ulumul Hadits Wa Mustolahuhu (Beirut : Dar al-Ilm lil-Malayin,1977). Yang telah diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Firdaus 1993). Cet. I
Thahan, DR, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, (Jakarta : Pustaka Thoriqul Izzah). Cet.I
Rahman,Drs. Fathur, Ikhtisar Mustolahul Hadits, (Bandung : Al-ma’arif, 1974), Cet. I
Ash Siddieqy, Prof. DR. Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2005). Cet. 9
Al-Khotîb, DR. ‘Ajjaj, Muhammad, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta : Radar Jaya Pratama, 1998). Cet. I.
Zein, Drs. Muhammad Ma’shum, MA, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, (Jombang : Darul Hikmah, 2008). Cet. I

Kamis, 07 Mei 2009

Ulumul Qur'an


AL-QUR’AN DAN PENGERTIANNYA

A. Definisi Al-Qur’anSecara etimologi, al-Qur’an berasal dari kata Qara’a Yaqra’u Qira’atan, atau Qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-Jam’u) dan menghimpun (al-Dhommu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian yang lain secara teratur. Dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan inti dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata al-Qur’an diantaranya ialah :

a. Al-Syafi’i (150-204 H) berpendapat, bahwa kata al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana kitab injil dan taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa As.

b. Al-Fara’ dalam kitabnya “ma’an al-qur’an” berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil dari kata qarain jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal karena sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu sama lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.

c. Al-Asy’ari berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al-Qur'an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.

d. Al-Zajjaj berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an itu berhamzah, mengikuti wazan fu’lan dan diambil dari kata al-Qar’u yang berarti menghimpun. Hal ini karna al-Qur’an meupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.

e. Al-Lihyani berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdarnya diambil dari kata qara’a yang berarti membaca, hanya saja lafadz al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani berbentuk masdar dengan makna isim maf’ul. Jadi, al-Qur’an artinya maqru’ (yang dibaca).

f. Subhi As-Shalih menyamakan kata al-Qur’an dengan al-Qira’ah sebagaimana dalam Surat al-Qiyamah ayat17-18:

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Sedangkan pengertian al-Qur’an dari segi terminolognya, dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama berikut:

a. Dr. Muhammad Salim Muhsin, dalam bukunya Tarikh Al-Qur’an al-Karim menyatakan, bahwa:

القران هو كلام الله تعالي المنزل علي نبينا محمد صلي الله عليه وسلم المكتوب في
المصاحف المنقول الينا نقلا متواترا المتعبد بتلاوته المتحدي باقصرسورة منه

’’Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan dinukil/diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.

b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dn petunjuk dalm beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalm mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad Abduh mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalam mulai yang diturunkan oleh Allah kepada manusia yang paling sempurna Muhammad Saw, ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulya yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.
Ketiga definisi al-qur’an tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih melihat keadaaan al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan kepada umat islam secara mutawatir, membaca sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mu’jizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya lewat malaikat Jibril. Penegasan tentang permulaan surat dari al-Qur’an serta akhir suratnya, dan fungsinya disamping sebagai mu’jizat atau hujjah kerasulan, juga sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia dan petunjuk dalam beribadah. Dan definisi ketiga melengkapi isi al-Qur’an yang mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulya dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas.

Dari pemaknaan ini, al-Qur’an memiliki beberapa karakter, sebagai berikut :

1. Kalam Allah, yaitu ucapan-ucapan Allah yang tidak memilki suara dan huruf. Karena itu, kalam Allah berbeda dengan kalam manusia yang memiliki suara dan huruf.
2. Diturunkan Kepada Nabi Muhammad Saw. Dari ini tidak terasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi lain, yaitu Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, dan Injil kepada Nabi Isa. Taurat, Zabur, dan injil kendati termasuk kalam Allah, namun tidak sama dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
3. Dalam bahasa arab, yaitu al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai kalam Allah hanyalah yang dalam bahasa arab, sesuai dengan maksud ayat yang berbunyi :


“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.’’ (QS. Yusuf : 2 )

4. Setiap huruf memiliki nilai ibadah, yaitu membaca al-Qur’an mengandung ibadah walaupun satu huruf. Hal ini dijelaskan oleh hadits Turmudzi yang berbunyi:

“Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, ia memperoleh satu nilai kebaikan, dan setiap satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.

5. Mengandung mukjizat, yaitu al-Qur’an memiliki daya melemahkan lawan bicara sehingga menerima kebenaran al-Qur’an. Hal ini dijelaskan oleh ayat yang berbunyi:

”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra: 88).

6. Karakter terakhir ialah dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Maksudnya al-Qur’an terkodifikasi dalam mushaf yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Dari enam karakter ini al-Qur’an dibedakan dengan Hadits dan Hadits Qudsi. Hadis ialah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan pada Nabi. Sedangkan Hadits Qudsi ialah ungkapan-ungkapan suci yang dikaitkan Nabi dengan Allah SWT., yaitu ungkapan Allah yang dibahasakan Nabi. Hadits Qudsi biasanya disandarkan Nabi kepada Allah dengan ungkapan: “Rasulallah Saw, mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya”, atau “Rasulallah mengatakan, Allah berfirman:…”. Hal ini dapat dilihat pada Hadits Qudsi berikut ini: “Dari Abi Hurairah Ra. Bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, Allah SWT berfirman: “Saya bersama sangkaan hamba-Ku kepada-Ku” (HR. Bukhari-Muslim).

Dengan demikian terdapat perbedaan al-Qur’an dengan Hadits Qudsi dalam lima poin, yaitu:
1. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulallah Saw, dengan lafadznya, dan dengan itu orang Arab ditantang untuk membuat seperti al-Qur’an. Tantangan itu tetap berlaku sesuai dengan kemukjizatan al-Qur’an yang abadi. Sedangkan Hadits Qudsi diturunkan tidak dengan lafadznya dan tidak untuk ditantangkan kepada orang Arab, dan tidak pula mukjizat.
2. Al-Qur’an hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga “Allah berfirman” sedangkan Hadits Qudsi kadang dinisbahkan kepada Allah dengan sebutan: “Telah berfirman Allah Ta’ala” dan terkadang diberitakan bersumber dari Allah, seperti ungkapan: “Rasulallah Saw. Mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya”.
3. Seluruh isi al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, sehingga kapasitasnya mutlak benar. Sedangkan Hadits Qudsi kebanyakan diriwayatkan melalui khabar Ahad, sehingga statusnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.
4. Al-Quran lafadz dan maknanya berasal dari Allah hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi yang maknanya saja dari Allah sedangkan lafadznya dari Nabi. Dengan kata lain, dari segi makna Hadits Qudsi sama dengan al-Qur’an, namun dari segi lafadz sama dengan Hadits.
5. Membaca al-Qur’an ibadah sehingga disuruh dibaca dalam shalat, sedangkan membaca Hadits Qudsi tidak mengandung ibadah sehingga tidak disuruh membacanya dalam shalat.
Di kalangan ahli kalam (akidah Islam) terjadi perbedaan mengenai substansi al-Qur’an sebagai kalam Allah, yaitu apakah ia Qadim atau Hadits (baharu.) Perbedaan itu terpolarisasi kepada dua kelompok, yaitu Asy’ariah dan Muktazilah.
Menurut Asy’ariah, sesuai dengan keyakinan akan keberadaan sifat Tuhan di luar Dzat, meyakini bahwa al-Qur’an bersifat Qadim, seperti halnya Dzat Allah. Adanya dua sifat Qadim (Dzat Tuhan) dan sifat (al-Qur’an) tidak mengakibatkan keanekaan (syirik), karena diantara keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berbeda dengan pendapat di atas, sesuai dengan prinsip keesaan Tuhan dalam arti yang ada hanya Dzat-Nya sedangkan sifat di luar dzat tidak ada, menurut Muktazilah, al-Qur’an bersifat baharu, karena diciptakan Tuhan. Penerimaan bahwa al-Qur’an bersifat Qadim menyebabkan adanya dua yang Qadim (Ta’adud zl-Qudama’) yang menyebabkan kemusyrikan. Allah bersifat Esa, menurut Muktazilah, memiliki makna bahwa yang ada hanya Dzat-Nya, sedangkan sifat yang ada di luar Dzat tidak ada. Tuhan mengetahui, menurut Muktazilah, dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah Dzatnya sendiri.
Perbedaan pendapat mengenai apakah al-Qur’an Qadim atau baru telah menodai sejarah Dunia Islam, yang dikenal dengan peristiwa mihnah. Namun bagaimanapun semua aliran dalam Teologi Islam sepakat keesaan Tuhan dengan pemahaman yang varian. Karena itu yang terjadi ialah perbeda pemahaman, bukan pertentangan di antara mengesakan Tuhan (Muwahhid) dan mensyerikatkan Tuhan (Musyrik).
B. Nama-nama,Sifat-sifat al-Qur’an dan Dalilnya.
Nama-nama lain untuk al-Qur’an dikembangkan oleh sedemikian rupa, al-Qur’an itu mempunyai banyak nama, menurut Abul Ma’ali Syaizalah, ada 55 nama bagi al-Qur’an, dan menurut Abu Hasan al-Haralay ada 90 nama al-Qur’an. Tetapi menurut Subhi as-Shalih penyebutan nama-nama al-Qur’an yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan, sehingga bercampur aduk antara nama al-Qur’an dan sifat-sifatnya. Diantara nama-nama al-Qur’an ialah al-Qur’an itu sendiri. Allah menamakan al-Qu’an dengan beberapa nama, diantaranya:
1. Al-Qur’an
“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. “ (QS. Al-Isra’: 9)

2. Al-Kitab

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?.” (QS. Al-Anbiya: 9).

3. Al-Furqan




“Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana.” (QS. Al-Furqan: 10 ).

4. Adz-Dzikr

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

5. At-Tanzil
“ Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam.” (QS. As-Syu’ara: 192).
Al-Quran dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Daraz mengatakan : “Ia dinamakan al-Qur’an karena ia “dibaca’ dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua makna ini sesuai dengan kenyataannya.”
Penamaan al-Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknya ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila diantara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain meluruskannya. Kita tidak dapat menyandarkan hanya kepada hafalan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak menyandarkan hanya kepada tulisan penluis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang shahih dan mutawatir.
Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan ke dalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya maka al-Qur’an tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya al-Qur’an, seperti difirmankan-Nya:

“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Dengan demikian al-Qur’an tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad, seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini diantaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedangkan al-Qur;an diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu al-Qur’an mencakup hakikat yang ada dalam kitab-kitab terdahulu dan menmbahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah.
Dan Allah juga telah melukiskan al-Qur’an dengan beberapa sifat, Beberapa sifat Al Qur’an yang telah Allah SWT berikan kepada Kitab Al Qur’an untuk menunjukkan bahwa kedudukan Al Qur’an itu benar-benar agung. Maka Allah SWT memberikan nama dan sifat kepada Al Qur’an tidak hanya satu. Adapun nama dan sifat al-Qur’an diantaranya, yaitu :
1. Al Mubin ( Ad-Dukhon,2 )


2. Al Kalam,(At-Taubah 6)



3. Al Huda (Luqman,3 )


4. As Syifa’ (Al-Isra’,82 )



5. Al Amru (At-Tholaq,5 )



6. Al Maui’dzoh ( Yunus,57 )



7. Al Karim ( Al-Waqiah,77 )



8. An Nur ( An-Nisa,174 )



9. Al Mubarok (Al-Anbiya,50 )







10. Al ‘Aly ( Az-Zukhruf,4 )



11. Al Hikmah ( Al-Qomar,5 )


12. As Sirotol Mustaqim ( Ali ‘lmron,51 )


13. Ar Rohmah (Luqman,3 )


14. Al Haq ( Ali ‘Imron,62 )



15. Az Zabur ( Al-Anbiya,105 )



16. Al Qoyim ( Al-Kahfi 2 )


17. Al Hakim ( Yunus, 1 )

18. As Sidq ( Az-Zumar,32 )


19. Al Matsani ( Az-Zumar,23 )



20. An Naba’ ( An-Naba,2 )

21. Al ‘Adzim ( An-Naba,2 )



22. Al ‘Ilmu, ( Al-Baqoroh,145 )



23. Al Bashoir ( Al-Jatsiyah,20 )


24. Al Habl ( Ali ‘Imron,103 )



25. Al Mutasyabih (Az-Zumar,23 )


26. Al Majid ( Al-Buruj,21 )



27. Al ‘Adl ( Al-An’am,115 )



28. Ahsanul Hadits ( Az-Zumar,23 )




29. Al Bayan ( Ali ‘Imron.138 )



30. Arobiy ( Yusuf,2 )


31. Al ‘Ajab ( Al-Jin,1 )



32. At Tibyan ( An-Nahl,89 )



33. At Tadzkiroh ( Al-Haaqoh,48 )


34. Al Munadi (Ali ‘Imron,193 )



35. Al Wahyu ( Al-Anbiya,,45 )






36. Al Balagh ( Ibrahim,52 )



37. Al Hadi ( Al-Isra’ 9 )


38. ‘Urwatul Wutsqo ( Al-Baqarah,256 )



39. Al Basyir ( Al-Baqarah,119 )




40. Al Busyro ( An-Naml,2 )



41. Al ‘Aziz ( Fus-Shilat/ Haa min Sajdah, 41 )



42. Al Qoul (At Thoriq, 13)




43. Al Qoshosh ( Yusuf,3 )



44. An Nadzir ( Al-Baqarah,119 )



45. Ar Ruuh ( As-Syura,52)



46. As Suhuf ( ‘Abasa,13 )



47. Al Mukarromah ( ‘Abasa,13 )



48. Al. Fasl ( At-Thoriq,13 )



49. Al Marfu’ah ( ‘Abasa,14 )



50. Al Mutohharoh ( ‘Abasa.14 )



C. Kandungan al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makiyah), dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74.437 kalimat, dan 325.345 huruf. Proporsi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) untuk ayat-ayat Makiyah, dan 11/30 (28 surat) untuk ayat-ayat Madaniyah. Sebenarnya ada banyak pendapat tentang isi kandungan al-Qur’an ditinjau dari jumlah surat, ayat, kalimat, dan huruf yang terdapat dalam al-Qur’an.
Para ahli Madinah berpendapat ayat al-Qur’an berjumlah 6214 ayat, ahli Makah berpendapat berjumlah 6213 ayat, menurut ahli Syam berjumlah 6250 ayat, menurut ahli Bashrah berjumlah 6216 ayat, menurut ahi Kufah berjumlah 6236 ayat, dan ada lagi yang berpendapat ayat al-Qur’an berjumlah 6237 ayat, dari beberapa pendapat itu untuk mempermudah dalam mengingat jumlah ayat al-Qur’an maka kita mengambil pendapat yang ada dalam kitab Musthalah at-Tajwid fi al-Qur’an al-Majid yaitu berjumlah 6666 ayat, dan pendapat tersebut sudah umum terkenal dikalangan ulama.
Sedangkan jumlah huruf dalam isi kandungan al-Qur’an juga banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama, ada yang berpendapat bahwa jumlah kalimat dalam al-Qur’an berjumlah 1.025.000 huruf, ada yang menghitung berjumlah 321.267 huruf, dan ada yang berpendapat berjumlah 325.345 huruf, perbedaan jumlah huruf tersebut dikarenakan adanya huruf-huruf yang bertasydid yang menghitung satu huruf atau dihitung dua huruf. Namun yang lebih umum dan masyhur dari pendapat yang berjumlah 1.025.000.
Sebagaiman jumlah ayat dan surat dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam perbedaan pendapat diantara ulama, dalam perhitungan jumlah kalimat dalam al-Qur’an juga terdapat perbedaan pendapat pada jumlah kalimat-kalimatnya yang ada dalam kandungan al-Qur’an, ada yang berpendapat jumlah kalimat dalam al-Qur’an berjumlah 770.450 kalimat ada lagi yang berpendapat hanya berjumlah 8.643 kalimat. Perbedaan penghitungan jumlah kalimat tersebut karena adanya dhomir-dhomir, kalimat-kalimat yang sama dihitung satu kalimat atau beberapa kalimat.
Dari perbedaan pendapat tentang jumlah surat, ayat, huruf dan kalimat dalam al-Qur’an tersebut menunjukkan keajaiban al-Qur’an.
Dari keseluruhan isi kandungan al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa syurga dan neraka.
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhaan Allah SWT.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok kandungan (pesan-pesan) al-Qur’an ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulallah, hari kebangkitan, dan takdir.
b. Masalah etika (Khuluqiyah), berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah), terbagi dalam 2 (dua) macam:
1) Masalah Ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah SWT.
2) Masalah muamalah, seperti akad pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan sebagainya yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia lain, baik perseorangan maupun kelompok. Masalah muamalah ini terbagi menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu:
a) Masalah individu (ahwal al-Syahshiyah), misalnya: masalah keluarga, hubungan suami istri, sanak kerabat, dan pengaturan rumah tangga, yang didalam al-Qur’an sebanyak kurang lebih 70 ayat.
b) Masalah perdata (madaniyah), yang berkaitan dengan hubungan perseorangan dengn masyarakat, misalnya: jual-beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya yang berhubungan dengan hasil kekayaan, sebanyak kurang lebih 70 ayat.
c) Masalah pidana (jinayah), yang berhubungan dengan perlindungan hak-hak manusia, sebanyak 30 ayat.
d) Masalah perundang-undangan (dusturiyah), hubungan antara hukum dan pokok-pokoknya, seperti hubungan hakim dan dengan terdakwa, hak-hak perseorangan, dan hak-hak masyarakat, sebanyak 10 ayat.
e) Masalah hukum acara (mu’rafat), yaitu yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian, sumpah, dan sebagainya, sebanyak 13 ayat.
f) Masalah ketatanegaraan (duwaliyah), yang berkaitan dengan hubungan Negara Islam dan Negara-negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam Negara Islam, baik dalam keadaan perang maupun damai, sebanyak sekitar 25 ayat.
g) Masalah ekonomi dan keuangan (iqthisadiyah dan maliyah), yaitu yang berkaitan dengan hak si miskin pada harta orang kaya, sumber air, minyak, bank, hubungan antara negara dan rakyatnya, sebanyak kurang lebih 10 ayat.
D. Fungsi al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia, sudah barang tentu mempunyai banyak fungsi, baik bagi Nabi Muhammad sendiri dan bagi kehidupan manusia scara keseluruhan. Diantara fungsi al-qur’an adalah sebagai :
1. Bukti kerasulan Muhammad Saw dan kebenaran ajarannya
2. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh umat manusia oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah SWT dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Petunjuk mengenai ahlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual dan kolektif.
4. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
5. Sebagai kitab yang menyempurnakan bagi kitab-kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
6. Menjelaskan apa yang diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu. Seperti menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Dan sebagainya.
Syeh Muhammad Abduh sebgai bapak pemandu aliran rasionalis, masih mendudukkan fungsi al-Qur’an yang tertinggi. Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang ghaib. Disinilah letak fungsi dan peranan al-Qur’an.
Lebih dari itu, fungsi al-Qur’an adalah sebagai hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai objektif, universal, dan abadi, karena ia diturunkan dari Dzat yang Maha Tinggi. Kehujjahan al-Qur’an dapat dibenarkan, karena ia merupakan sumber segala macam aturan tentang hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya, yang harus dijadikan pandangan hidup bagi seluruh umat islam dalam memecahkan setiap persoalan umat Islam. Allah Berfirman :

“ Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(QS. Al-A’raf : 158)

“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)
Demikian juga al-Qur’an berfungsi sebagai hakim yang memberikan keputusan terakhir mengenai perselisihan dikalangan para pemimpin, dan lain-lain. Sekaligus sebagai korektor yang mengoreksi ide, kepercayaan, undang-undang yang salah dikalangan umat beragama. Oleh karena itu, sl-Qur’an merupakan penguat bagi kebenaran kitab-kitab sucu terdahulu yang dianggap positif, dan memodifikasi ajaran-ajaran yang using dengan ajaran-ajaran yang baru yang dianggap lebih positif. Fungsi itu berlaku karena isi kitab-kitab terdahulu terdapat perubahan dan perombakan dari aslinya, disamping itu juga sebagian isinya dianggap kurang relevan perubahan dan perkembangan zaman dan tempat.
E. Kedudukan al-Qur’an
Kedudukan al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Kitab Naba Wal-Akhbar (Berita dan Khabar)
Sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT:

“ Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?Tentang berita yang besar”(QS. An-Naba’: 1-2).

2. Kitab Al-Hukmi Wa Syari’at (Kitab Hukum dan Syariah)
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maaidah: 49-50).

3. Kitab al-Jihad (Kitab Jihad)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69).

4. Kitab at-Tarbiyah (Kitab Tarbiyah)

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imron: 79)

5. Kitab al-‘Ilmi (Kitab Ilmu)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

6. Minhajul Hayah
Konsep inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat Islam dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulallah SAW, Sayyid Quthbi mengemukakan:
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari dakwah yaitu generasi sahabat yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat Islam secara keseluruhan. Generasi ini tidak muncul kedua kalinya ke dunia ini sebagaimana mereka. Meskipun tidaka disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaimana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan dakwah ini…..”
Cukuplah kesaksian Rasulallah SAW, menjadi bukti kemuliaan mereka, manakala beliau bersabda dalam sebuah Haditsnya:
عن عمران بن حصين رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم.
“ Dari Imran bin Hushoin ra, Rasulallah Saw bersabda : sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat), kemudian generasi yang berikutnya (tabi’in), kemudian generasi yang berikutnya lagi (atba’ tabi’in). HR. Bukhari.
Imam nawawi, secara jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan generasi pada masaku adalah sahabat Rasulallah Saw. Dalam hadits yang lain Rasulallah Saw juga mengemukakan keutamaan sahabat :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تسبوا أصحابي فلو أنفق أحدكم مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
(رواه البخاري)
“ Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulallah Saw bersabda : Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Karena sekiranya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscayatidak akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnyapun tidak”. HR. Bukhari.
Sayid Qutub (1993 : 14-23) mengemukakan, terdapat tiga hal yang melatat belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khoirul qurun yang tiada duanya didunia ini. Secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Karena mereka menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
2. Ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahan dan lain sebagainya. Namun mereka mereka hanya untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam hidup mereka.
3. Mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masalalu ketika jahiliyah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masalalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan tiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir didunia ini. Disebabkan karna ketotalitasan mereka ketika berinteraksi dengan al-Qur’an yang dilandasi sebuah keyakinan yang mengakar dalam lubuk sanubari, bahwa hanya al-Qur’anlah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik didunia maupun akhirat.
Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama islam mempunyai peranan penting didalam kehidupan manusia, untuk kebahagiaan manusia didunia dan diakhirat. Untuk dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, seseorang hendak menggali ilmu yang ada didalam al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat menjadi petunjuk dan hidayah bagi kehidupannya. Pantaslah Nabi Muhammad Saw bersabda :
خيركم من تعلم القران وعلمه
Al-Qur’an sendiri didefinisikan oleh para pakar ilmu keal-Qur’anan dengan banyak definisi. Dari mulai dari etimologi sampai dengan terminologi yang beragam, tetapi merujuk kepada satu kesimpulan yaitu al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril as yang menjadi petunjuk bagi seluruh alam juga sebagai mu’jizat yang agung bagi Nabi Muhammad Saw, yang membacanya adalah merupakan suatu ibadah”.
Al-Qur’an sebagai kitab umat islam yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad Saw telah Allah SWT sempurnakan terhadap kitab-kitab sebelumnya (Zabur, Taurat, Injil), dan Allah menjamin penjagaannya, hingga kitab al-Qur’an terjaga dari perubahan, pengurangan, penambahan, dan hal-hal yang mengotori kesuciannya hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr : 9)
Al-Qur’an sebagai kitab yang mulia, petujuk bagi seluruh alam, Allah telah memberikan nama dan menyifatinya. Adapun nama-nama al-Qur’an adalah al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr, al-Tanzil. Demikian pula sifat-sifat yang diberikan Allah SWT kepada al-Qur’an jumlahnya sangat banyak lebih dari 50 sifat, bahkan diantara ulama ada yang memberikan pendapat bahwa sifat-sifat al-Qur’an lebih dari 90 buah. Ini adalah sebuah penghargaan Allah SWT kepada al-Qur’an, betapa al-Qur’an mempunyai keutamaan yang sangat besar dikehidupan dunia dan akhirat.
Sebagai kitab suci terakhir, kitab suci yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dunia maupun akhirat, al-Qur’an mempunyai kandungan, fungsi, dan kedudukan yang sangat penting.
Dari keseluruhan isi kandungan al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesan sebagai berikut:
1. Masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.
2. Masalah ibadah, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat, janji akan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dan ancaman akan mendapat kesengsaraan dunia akhirat, janji dan ancaman di akhirat berupa syurga dan neraka.
4. Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridhaan Allah SWT.
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun Nabi dan Rasul Allah.
Selain mempunyai kandungan yang sarat dengan petunjuk, al-Qur’an mempunyai fungsi yang sangat banyak. Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai :
1. Bukti kerasulan Muhammad Saw dan kebenaran ajarannya
2. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh umat manusia oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah SWT dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Petunjuk mengenai ahlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual dan kolektif.
4. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
5. Sebagai kitab yang menyempurnakan bagi kitab-kitab terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.
6. Menjelaskan apa yang diperselisihkan oleh umat-umat terdahulu. Seperti menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib, melainkan orang yang diserupakan dengannya. Dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman bagi keselarasan hidup. Kita simpulkan dari pemaparan diatas, bahwa al-Qur’an mempunyai kedudukan sebagai :
1. Kitab Naba Wal-Akhbar (Berita dan Khabar)
Sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah SWT:

“ Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?Tentang berita yang besar”(QS. An-Naba’: 1-2).

2. Kitab Al-Hukmi Wa Syari’at (Kitab Hukum dan Syariah)
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maaidah: 49-50).

3. Kitab al-Jihad (Kitab Jihad)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Ankabut: 69).

4. Kitab at-Tarbiyah (Kitab Tarbiyah)

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imron: 79)

5. Kitab al-‘Ilmi (Kitab Ilmu)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

6. Minhajul Hayah
Konsep inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat Islam dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia.
Maka dari apa yang telah kami simpulkan diatas, jelaslah bahwa al-Qur’an tidak ada lagi keraguan padanya, kitab yang sempurna, yang menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman :

“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”(QS. Al-Baqarah : 1-2)
Penutup
Demikianlah makalah ini kami tulis, ucapan terimakasih yang tak terhingga kami haturkan kepada Dosen kami, Bapak H. Mursal Syah MA dan Ibu Hamida Mursal MA karena atas bimbingan dan arahannya kami dapat menyelesaikan perbaikan makalah Ulumul Qur’an diakhir semester satu ini. Wallahu Muwaffiq ilâ Aqwamit Thariq.

Daftar Pustaka
Al-Ghazali, al-Musthafa Min ‘Ilmi al-Ushul, (Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971).
Abd. Hakim Atang, Mubarok Jaih, Metotodologi Studi Islam, ( Bandung: PT.Rosyda Karya, 2007), Edisi Revisi, Cet. Ke-Sembilan.
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, (Surabaya: Abditama, 1994), Cet. Pertama.
Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Edisi Pertama, Cet. 2.
Safi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Asy’ariyah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1990), Cet. III.
Umar Abdullah, Musthalah at-Tajwid Fi al-Qur’an al-Majid, (Semarang: Toha Putra, tanpa tahun), Cet. Pertama.
Syihab M. Quraisy, Wawasan-wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. I
Al-Birri, Zakariya, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975)

Created : Ahmad Khoirudin al-Hafiedz


ISRAILIYAT DALAM TAFSIR
Oleh : Ahmad Khoirudin al_Hafiedz

PENDAHULUAN
Al Quran merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai hudan linnas, maka tidak ada keraguan di dalamnya sekalipun banyak orang yang berusaha mengotak-atik ayat-ayat al Quran yang sudah dijamin keoutentikkannya. Sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang dijadikan sebagai utusannya dengan melalui pelantaraan malaikat jibril, sudah pasti Allah sendirilah yang akan menjaganya dengan ditandai oleh lahirnya para ilmuwan atau para hufadz yang terus menggali isi kandungan al Quran itu sendiri.
Berbeda dengan tafsirnya, dalam hal ini manusia melalui akalnya diciptakan untuk terus berfikir dan terus mencari ilmu Allah melalui penciptaan makhluknya yang beragam tanpa ada pilih kasih antara makhluk yang satu dengan yang lainnya, melainkan satu sama lainnya saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan secara terus menerus dari zaman ke zaman, al Quran mempunyai keistimewaan tersendiri untuk selalu shalih likulli zaman wa makan, didorong oleh banyaknya ulama yang terus tanpa henti menafsirkan al Quran dengan pandangan tersendiri dan tentunya ada keluar dari kaidah al Quran dan as-Sunnah dan ada pula yang tetap pada porosnya.
Dalam hal ini kita sebagai pengkaji dituntut untuk selalu menyeleksi pemikiran-pemikiran tersebut, sehingga kita bisa mengontrol sendiri dan tanpa diikuti oleh keraguan dan sifat taklid sedikitpun.


Penyusun
PEMBAHASAN
ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR AL QURAN
Pengertian Israiliyyat
Ditinjau dari segi bahasa, kata israiliyyat adalah bentuk jamak dan kata israiliyah, yakni bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra bararti hamba dan Il berarti Tuhan, jadi Israil adalah hamba Tuhan. Dalam deskreptif histories, Israil barkaitan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim As, dimana keturunan beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Di dalam al-Qur'an banyak disebutkan tentang Bani Israil yang dinisbahkan kepada Yahudi . Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah:78, al-Isra:4, an-Naml: 76.
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (al-Maidah: 78)
Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat. Menurut adz-Dzahabi israiliyyat mengandung dua pengertian yaitu, pertama: kisah dan dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama .
Definisi lain dari asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan beritaberita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat Islam, selain dari Yahudi merekapun menyerapnya dari yang lain . Sedangkan Sayyid Ahmad Khalil mendefenisikan israiliyyat dengan riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan dengan agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya.
Penisbahan riwayat israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk Islam . Dari tiga definisi tersebut di atas tampaknya ulama-ulama sepakat bahwa yang menjadi israiliyyat adalah Yahudi dan Nashrani dengan penekanan Yahudilah yang menjadi sumber utamanya sebagaimana tercermin dari perkataan israiliyyat itu sendiri. Abu Syu'bah mengatakan pengaruh Nashrani dalam tafsir sangat kecil. Lagi pula pengaruhnya tidak begitu membahayakan akidah umat Islam karena umumnya hanya menyangkut urusan akhlak, nasihat dan pembersihan jiwa.
Formulasi tentang israillyat tersebut terus berkembang di kalangan para pakar tafsir al-Qur'an dan hadits sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia. Bahkan di kalangan mereka ada yang berpendapat bahwa israiliyyat mencakup informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam manuskrip kuno dan hanya sekedar sebuah manipulasi yang dilancarkan oleh musuh Islam yang diselundupkan pada tafsir dan hadits untuk merusak aqidah umat Islam dari dalam.
Meskipun israiliyyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nashrani juga turut ambil bagian dalam konstalasi versi israiliyyat ini. Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih popular dan dominan. Karenanya kata Yahudi lebih dimenangkan lantaran selain Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam, di kalangan mereka juga banyak yang masuk Islam.
Proses Masuk dan Sebab-sebab Munculnya Israiliyyat
Infiltrasi kisah israiliyyat dalam tafsir al-Qur'an tidak lepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada zaman jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk ke dalam benak keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nashrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah Islam itu.
Sejak tahun 70 M, terjadi imigrasi besar-besaran orang yahudi ke wilayah Arab, karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi yang bernama Titus. Dalam proses imigrasi tersebut tentunya mereka membawa kebudayaan yang secara turun termurun disalurkan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain itu, bangsa arab terkenal dengan kaum yang nomaden atau berpindah-pindah tempat. Mereka memiliki dua tujuan dalam berpergian. Bila musim panas pergi ke Syam dan musim dingin pergi ke Yaman. Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali ahli kitab yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi.
Di saat yang demikian Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam disebarkan dan Madinah sebagai tempat tujuan Nabi hijrah tinggal beberapa bangsa Yahudi yaitu Qurayqa, Bani Quraidah, Bani Nadzir, Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak. Karena orang Yahudi bertetangga dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan.
Rasulullah menemui orang Yahudi dan ahli kitab lainnya untuk mendakwahkan Islam. Orang Yahudi sendiri sering datang kepada Rasulullah saw untuk menyelesaikan suatu problem yang ada pada mereka, atau sekedar untuk mengajukan suatu pertanyaan.
Pada era Rasulullah saw, informasi dari kaumYahudi dikenal sebagai israiliyyah tidak berkembang dalan penafsiran al-Qur'an, sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an umpamanya saja, apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai pengertian yang berkaitan dengan sebuah ayat al-Qur'an, baik makna atau kandungannya, merekapun langsung bertanya kepada Rasulullah saw . Kendatipun demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam green light pada umat Islam untuk menerima informasi yang menyebarkan informasi dari Bani Israil, hal ini tampak dalam hadits beliau:
بلغوا على ولو اية وحدثوا عن بنى إسراءيل ولاحرج كذب على متعمدا فليتبومقعده من النار.
"Sampaikanlah yang datang dariku walaupun satu ayat, dan ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta ayatku, maka siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka".
Demikian pula dalam hadits lain Beliau bersabda:
ولاتصدقو اهل الكتاب ولاتكذبوهم وقولو امن بالله وما انزل الينا
"Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli Kitab dan jangan pula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, kami beriman kepada dan kepada apapun yang diturunkan kepada kami.
Dalam dua hadis di atas sudah jelas bahwa dalam penggunaan cerita-cerita israiliyyat tersebut Rasulullah tidak melarangnnya secara mutlak, tapi beliau juga memberikan sebuah rambu-rambu kepada kita untuk selalu bersikap selektif dalam pengambilan terhadap israiliyyat tersebut agar tidak gampang terpengaruh oleh cerita-cerita yang dibawakan oleh ahli kitab itu. Dari sini kita dituntut untuk berhati-hati dalam penggunaannya.
Setelah Rasulullah wafat, tidak ada yang bisa lagi dijadikan rujukan dari permasalahan-permasalahan yang timbul dalam islam. Di sini apabila para sahabat tidak menemukan jawabannya dalam al Quran dan al Hadis, maka mereka berijtihad dan salah satu yang dijadikan sebagai rujukan adalah riwayat ahli kitab. Namun disini ad-Zahbi menjelaskan bahwa para sahabat dalam pengambilan cerita-cerita israiliyyat tersebut dibatasi dengan tidak adanya penyimpangan terhadap akidah dan syariah. Semua itu dilakukan dalam taraf kewajaran dan tidak berlebihan.
Di era tabi’in, penukilan terhadap israiliyyat semakin merajalela. Hal ini disebabkan semakin banyaknya orang yang masuk islam dikalangan yahudi dan nasrani, selain itu ditunjang dengan semakin kuat dan banyak orang yang ingin mendengarkan cerita-cerita tersebut apalagi ada hubungannya dengan al Quran. Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani. sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat.
Diantaranya adalah Muqatil bin Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah saw tersebar . Saat itu pula sikap selektif umat islam terhadap israiliyyat tersebut semakin berkurang akibatnya, cerita-cerita tersebut semakin mudah untuk beredar luas.



Macam-macam dan Contoh Israiliyyat dalam Tafsir
Ada tiga macam penggunaan dalam penukilan dari cerita-cerita Israiliyyat, yaitu:
1) Israiliyyat yang diakui dan dibenarkan oleh Islam, maka hal itu benar.

Contohnya dalam periwayatan Bukhari dalam kitabnya, dari Ibnu Mas’ud r.a, mengatakan: “Datang salah seorang Habr kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan: “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati (dalam Kitab kami) bahwasanya Allah Swt. menjadikan langit-langit pada satu jari, bumi-bumi di satu jari, pohon-pohon di satu jari, air dan hasil bumi di satu jari, dan seluruh makhluk di satu jari, kemudian Allah Swt. berfirman: “Akulah Raja”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya karena membenarkan perkataan sang Habr, kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” [Az-Zumar : 67]
2) Israiliyyat yang diingkari dan didustakan oleh Islam, maka hal itu bathil.
Contohnya : Riwayat Bukhari dari Jabir r.a mengatakan: “Kaum Yahudi mengatakan: Jika seseorang menggauli isterinya dari belakang, maka anaknya akan terlahir bermata juling”, maka turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (Al-Baqarah : 223)
3) Israiliyyat yang tidak diakui oleh Islam dan tidak diingkari, maka di sini wajib diam.
Sesuai dengan apa yang diriwayatakan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a mengatakan: “Ahli Kitab membaca Taurat dalam bahasa Ibrani, mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk kaum muslimin, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan janganlah mendustakan mereka, akan tetapi katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu”.
Akan tetapi membicarakan masalah hal ini hukumnya boleh selama tidak dikhawatirkan terjerumus pada keharaman, sebagaimana diatas telah disebutkan sabda Rasulullah Saw. bahwa “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah dari Bani Israil dan tidak mengapa, barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya kelak dari api neraka”, diriwayatkan oleh Bukhari . Kebanyakan yang diriwayatkan dari mereka tidak ada manafaatnya dalam agama, seperti warna anjing Ashabul Kahfi dan lain sebagainya.
Sebab-sebab Muncul Israiliyyat
ada beberapa faktor penyebab masuknya israiliyyat terhadap penafsiran al- Quran. Yakni:
Pertama, perbedaan metodologi antara al-Qur'an. Taurat dan Injil dalam global dan ringksan titik tekannya adalah memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan Taurat dan Injil mengemukakan secara terinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat Islam bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih tabu.
Kedua, ada pula pendapat yang mengatakan rendahnya kebudayaan masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang kurang banyak yang pandai dalam hal tulis menulis (ummi). Meskipun pada umumnya ahli Kitab juga selalu berpindah-pindah., tetapi pengetahuan mereka tentang sejarah masa lampau lebih luas.
Ketiga, ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang difahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya pada ahli Kitab.
Keempat, adalah heterogenitas penduduk. Menjelang masa kenabian Muhammad saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi dan Nasrani.
Kelima, adanya rute perjalanan niaga. masyarakat Arab, rute selatan adalah Yaman yang dihuni oleh kalangan Nasrani, sedangkan rute ke utara adalah Syam yang dihuni oleh kalangan Yahudi.
Contoh Penafsiran al Quran yang Telah Dibubuhi Cerita Israiliyyat
Berikut adalah contoh yang diambil dari Tafsir At-Thabari, dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan penyembelihan Nabi Ismail oeh Nabi Ibrahim, Firman Allah dalam Q.S Ash-Shaffat: 102,
“Maka tatkala anak itu sampai (Pada umur sanggup) berusaha bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesunguhnva aku melihat dalam mimpi aku meyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab, "Wahai Bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar ".
Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama berkaitan dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang di `al-adzabih' pada ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud itu adalah Nabi Ismail as. putra Nabi Ibrahim as. dari Siti Hajar. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ishaq as, putranya dari Siti Sarah. Pendapat terakhir, menurut Ibnu Katsir dan mufassir lainnya berasal dari israliyyat.21 Karena sumber tafsiran ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang bangsa Yahudi yaitu Ishaq as. Bahkan menurut Ibnu Katsir lagi pendapat mereka itu bertentangan dengan sumber-sumber ahli kitab mereka.
Berkaitan dengan pesoalan di atas, dalam tafsirnya mengungkapkan dua elompok riwayat yang masing-masing mewakili dua pendapat di atas. Riwayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan at-dzahabi adalah Nabi Ishaq as. diterimanya dari Abi Kuraib, Zaid bin Habilm, al-Hasan bin Dinar, dari Ali bin Zaid bin Zad'an, dari al-Ahnaf bin Qaid dan al-Abbas bin Abdul Muthalib dan dari Nabi. Sanad israiliyyat yang disandarkan kepada Nabi di atas ditolak.
oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir sebagaimana ditulis oleh Syu'bah, riwayat itu dha'if, gugur dan tidak dapat dijadikan hujjah sebab salah satu rawinya yaitu Hasan bin Dinar, harus ditinggalkan periwayatannya dan gurunya pun, Zaid bin Zad'an, periwayatannya tidak dapat diterima. Namun kelemahan-kelemahan ini tidak dikemukakan oleh ath-Thabari,22 bahkan ia menjadikannya pemihakan terhadap israiliyyat yang mengatakan yang disembelih adalah Nabi Ishaq as, meskipun tidak mengomentari sanadnya, ia mengomentari matnnya.
Dalam hal ini ia memilih riwayat yang mengatakan yang dimaksud dengan al-dzahib adalah Nabi Ishaq as. Ia juga mengatakan al-Qur'an mendukung riwayat itu. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengajukan berbagai argumentasi, umpamanya ia berargumentasi bahwa permintaan Nabi Ibrahim as agar dikaruniai putra ketika berpisah dan kaumnya dan hendak hijrah ke Syam bersama isterinya Sarah, terjadi ketika ia belum mengenal Hajar isterinya yang kedua. Setelah peristiwa hijrah itu Tuhan mengabulkan do'anya. Anak itulah yang menurutnya kemudian dilihatnya disembelih dalam ketiga mimpinya. Dalam al-Qur'an, Nabi Ishaqlah yang disebut-sebut sebagai kabar gembira bagi Nabi Ibrahim as, dalam surah as-Shaffat: 101. Diantara israiliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan dengan al-Qur'an, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan israiliyyat yang pertentangan dengan al-Qur'an.
Sikap Para Ulama Terhadap Israiliyyat dalam Tafsir
Para ulama, terlebih lagi para ahli tafsir berbeda-beda sikapnya, dalam masalah ini terdapat empat macam.
1) Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyyat dengan disertai sanadnya, dia memandang, bahwa dengan menyebutkan sanad, maka dia dapat keluar dari lingkup larangannya, seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2) Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyyat tanpa disertai sanad, maka dia seperti penyulut api di tengah malam, misalnya: Al-Baghawi yang di katakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang tafsirnya : “Tafsirnya adalah ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi, akan tetapi dia menjaganya dari hadits-hadits palsu dan pandangan-pandangan bid’ah”, beliau mengatakan tentang Ats-Tsalabi: “Dia adalah penyulut api di tengah malam, dia menukil apa yang dia dapati dalam kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat shahih,dhaif atau palsu”.
3) Ada yang banyak menyebutkanya, namun sebagian besar yang disebutkan diberi komentar dha’if atau diingkari, seperti Ibnu Katsir.
4) Ada yang berlebih-lebihan dalam menolaknya sehingga tidak menyebutkan riwayat Israiliyyat sedikitpun sebagai penafsiran bagi Al-Qur’an, seperti Muhammad Rasyid Ridha .



KESIMPULAN
Israiliyyat adalah bentuk jamak dari israiliyyah, yakni bentuk kata yang dinisbahkan kepada kata israil yang berasal dari bahasa lbram, isra berarti hamba dan it berarti Tuhan, jadi israil artinya adalah hamba Tuhan. Dalam perspektif histories israil berkaltan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq as, dimana keturunan beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Secara istilah israiliyyat adalah kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal riwayatnya disandarkan atau bersumber pada Yahudi, Nashrani dan lainnya atau cerita-cerita yang secara sengaja diselunduplan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits, yang sama sekali tidak dijumpai dalam sumber-sumber yang sahih. Masuknya israiliyyat dalam tafsir tidak terlepas dari kondisi sosio
cultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Adanya migrasi besarbesaran orang Yahudi pada tahun 70 M ke jazirah Arab karena ancaman dari Romawi yang dipimpin oleh kaisar Titus menimbulkan kontak antara keduanya, ditambah lagi kondisi orang Arab sendiri yang sering melakukan perjalanan dagang ke Syam dan Yaman., di Madinah sendiri banyak orang Yahudi yang bermukim di sana.
Keberadaan israiliyyat dalam tafsir banyak memberikan pengaruh buruk, sikap teliti yang diperlihatkan oleh para sahabat dalam mentransfer. israiliyyat tidak menjadi perhatian genarasi sesudahnya, sehingga banyak israiliyyat yang mengandung khurafat dan bertentangan dengan nash mewarnal kitab tafsif.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Melacak Unsur-unsur Israilliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
al-Bukhari, Matn Bukhari, Beirut, Dar al-Fikri, tth, jilid II dan IV. adz-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassir, Mesir. Dar al-Kutub wa al-Hadits, 1976, jilid I.
_________________, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Jakarta, Rajawali, 1986.
_________________, al-Israiliyyat fi Tafsir wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT Litera Antara Nusantara, 1993.
Khalil, Sayyid Kamal, Dirasah fi al-Qur'an, Mesir, Dar al-Ma'rifah, 1961.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.
ar-Rifai, Muhammad Nazib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta, Gema Insani, 2000.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an I, Bandung, Pustaka Setia, 1997.